Mahkamah Konstitusi (MK) menolak pengujian Pasal 167 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan), pada Rabu (27/2/2019). MK menilai alasan permohonan yang diajukan FPP BNI tidak beralasan menurut hukum.
Sebelumnya, dalam permohonan Perkara Nomor 100/PUU-XVI/2018 diajukan oleh Martinus Nuroso, Ketua Forum Perjuangan Pensiunan BNI (FPP BNI) mempermasalahkan Pasal 167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan. Pasal a quo menyatakan, “Dalam hal pengusaha telah mengikutsertakan pekerja/buruh dalam program pensiun yang iurannya/preminya dibayar oleh pengusaha dan pekerja/buruh, maka diperhitungkan dengan uang pesangon yaitu uang pensiun yang premi/iurannya dibayar oleh pengusaha”. Pemohon mengungkapkan berbagai upaya yang telah dilakukannya bersama FPP BNI untuk memperoleh kekurangan pembayaran uang pesangon. Pemohon menilai manajemen BNI, melalui peraturan internal BNI, telah menafsirkan secara sepihak Pasal 167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan, yaitu dengan tidak mempertimbangkan penjelasan atas pasal tersebut. Dalam penjelasan Pasal 167 ayat (3), diterangkan secara eksplisit contoh perhitungan uang yang seharusnya diterima oleh Pemohon selaku pensiunan BNI. Oleh karena itu, hak Pemohon untuk memperoleh uang pesangon dengan jumlah yang dinilainya tepat tidak terpenuhi.
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat, Mahkamah menilai permohonan Pemohon merupakan persoalan implementasi norma. Hal ini karena Pasal 167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan yang tidak dilaksanakan sesuai dengan Penjelasan Pasal 167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan. Pemohon, kata dia, juga mengakui hal ini merupakan persoalan penerapan norma sebagaimana dinyatakan secara eksplisit dalam permohonan para Pemohon. Mahkamah, lanjutnya, dalam Sidang Pendahuluan bertanggal 18 Desember 2018 telah menasihatkan kepada Pemohon agar menguraikan dengan jelas alasan yang berbeda dalam mengajukan kembali permohonan. Sebab MK sudah mengeluarkanPutusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-XVI/2018 terkait perkara serupa yang diajukan juga oleh Pemohon.
“Mahkamah memeriksa secara cermat dan saksama permohonan Pemohon, telah ternyata pula bahwa hal yang oleh Pemohon dianggap sebagai perbedaan dengan permohonan-permohonan pengujian sebelumnya yang telah diputus oleh Mahkamah adalah hanya terletak pada penambahan dasar pengujiannya saja, tetapi secara substantive Pemohon tidak menguraikan secara jelas alasan-alasan yang menunjukkan perbedaan dimaksud,” ujarnya.
Karena itu, lanjut Arief, secara substansial tidak ada alasan konstitusional baru yang menyebabkan MK harus mengubah pendiriannya terhadap konstitusionalitas pasal yang diuji. Artinya alasan Permohonan tidak beralasan menurut hukum. (Arif Satriantoro/LA)