JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan tidak dapat menerima permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan pada Rabu (27/2/2019) siang. Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 101/PUU-XVI/2018 ini diajukan oleh Ester Fransisca Nuban karyawati PT. Asih Eka Abadi (AEA) Jakarta yang diwakili kuasa hukum, Marthen Boiliu. “Amar putusan menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” tegas Ketua Pleno Anwar Usman.
Mahkamah menyampaikan, ketentuan Pasal 156 ayat (2) UU Ketenagakerjaan mengatur perihal perhitungan pesangon secara umum yang menjadi rujukan dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja karena alasan-alasan yang telah ditentukan dalam UU Ketenagakerjaan. Oleh karena itu, ketentuan tersebut tidak hanya berkaitan dengan pemutusan hubungan kerja karena mangkir dari kerja sebagaimana diatur dalam Pasal 168 ayat (1) UU Ketenagakerjaan.
Pesangon dimaksud merupakan bagian dari hak pekerja serta kewajiban pengusaha untuk memenuhinya sebagaimana diatur dalam Pasal 156 ayat (1) UU Ketenagakerjaan yang menyatakan, “Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima”.
“Penghitungan terhadap pesangon dalam ketentuan Pasal 156 ayat (2) UU Ketenagakerjaan menjadi dasar penentuan paling sedikit pemberian pesangon yang tidak selalu sama dalam hal terjadi alasan pemutusan hubungan kerja. Sementara itu, ketentuan Pasal 168 ayat (1) UU Ketenagakerjaan mengatur mengenai konsekuensi hak-hak yang diterima oleh karyawan yang mangkir dari kerja dan besarnya hitungan pesangon yang diterima oleh karyawan apabila seorang karyawan diberhentikan kerja dari sebuah perusahaan karena mangkir kerja,” urai Wakil Ketua MK Aswanto yang membacakan pendapat Mahkamah.
Namun, faktanya status Pemohon pada saat ini adalah karyawan yang masih berkerja di PT AEA meskipun Pemohon sedang mendapat surat peringatan karena mangkirnya Pemohon dari tempat bekerja. Adanya surat peringatan karena mangkir kerja tersebut adalah sesuatu yang wajar berlaku dalam hubungan kerja dalam rangka menegakkan kedisiplinan dalam bekerja.
“Dari fakta tersebut jelas Pemohon bukanlah seseorang yang sedang mengalami kerugian karena diberhentikan kerja dan akan mendapatkan pesangon dari tempat Pemohon bekerja sebagaimana ditentukan dalam Pasal 156 ayat (2) dan Pasal 168 ayat (1) UU Ketenagakerjaan. Pemohon hanya sedang mendapatkan surat peringatan karena mangkirnya Pemohon dari tempat kerja. Meskipun Pemohon tidak mau menandatangai surat peringatan tersebut karena Pemohon mengkhawatirkan kejadian selanjutnya yang akan terjadi pada diri Pemohon andaikata Pemohon mengalami pemutusan hubungan kerja oleh perusahaan. Padahal kejadian tersebut belumlah dialami oleh Pemohon,” papar Aswanto.
Oleh karena itu, tidak ada keraguan bagi Mahkamah untuk menyatakan bahwa syarat adanya kerugian “potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi” tidak terpenuhi. Sebab, Pemohon masih bekerja di PT AEA. Dengan demikian, menurut Mahkamah, tidak ada kerugian konstitusional yang dialami oleh Pemohon dengan berlakunya Pasal 156 ayat (2) dan Pasal 168 ayat (1) UU Ketenagakerjaan yang dimohonkan pengujiannya oleh Pemohon.
Berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, menurut Mahkamah, Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun karena Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, maka Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan Pemohon.
Sebelumnya, Pemohon menegaskan kerugian konstitusional dengan berlakunya Pasal 156 ayat (2) Ketenagakerjaan. Pemohon merasa diperlakukan secara sewenang-wenang oleh perusahaan tempatnya bekerja akibat berlakunya pasal a quo.Pemohon yang sudah bekerja selama 24 tahun, menguji Pasal 168 ayat (1) dan Pasal 156 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Hingga Pemohon dipanggil menghadap di bagian HRD perusahaan AEA dan diminta menandatangani Surat Peringatan Pertama (SP1) yang isinya terkait terlambat masuk kerja dan mangkir selama 3 hari pada Agustus 2018. Namun Pemohon menolak menandatangani SP1 karena perusahaan AEA tidak memiliki cukup alasan untuk memberi SP1 terhadap Pemohon.
Pemohon telah meminta izin tertulis terlebih dahulu kepada atasan langsung untuk urusan pengobatan dan perawatan anak di salah satu rumah sakit di Bekasi. Bukti pengobatan dan perawatan anak Pemohon telah diserahkan kepada atasan langsung pada saat masuk kerja. Meskipun Pemohon telah meminta izin tertulis terlebih dahulu kepada atasan langsung, lanjut Marthen, tetapi gaji Pemohon pada Agustus 2018 dipotong sebesar Rp 453.416,00 sebagaimana tercantum di dalam slip gaji Agustus 2018. Dengan demikian menurut Pemohon, perusahaan tidak memiliki cukup alasan untuk menjatuhkan sanksi SP1 kepada Pemohon. Oleh karenanya, Pemohon menolak mendatangani SP1, termasuk nanti SP2 dan SP3 dari perusahaan AEA. (Nano Tresna Arfana/LA)