Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan kewenangan untuk menilai iktikad baik yang berhubungan dengan perbuatan hukum yang dilakukan oleh Advokat bukan merupakan kewenangan Dewan Kehormatan Organisasi Advokat (DKOA), melainkan penegak hukum. Pada amarnya, MK menolak untuk seluruhnya permohonan Nomor 52/PUU-XVI/2018 tersebut
“Kewenangan DKOA hanya berkait dengan nilai-nilai moral yang melekat pada profesi Advokat (Kode Etik Profesi Advokat), sehingga untuk menilai iktikad baik yang berhubungan dengan perbuatan hukum yang dilakukan oleh Advokat tentunya bukan lagi menjadi wilayah kewenangan DKOA tetapi menjadi kewenangan penegak hukum dalam kasus konkret yang dihadapi oleh seorang advokat, baik perbuatan pidana maupun perdata. Jika ketentuan Pasal 16 UU 18/2003 diubah seperti rumusan petitum permohonan para Pemohon maka akan terjadi pertentangan dengan Pasal 26 UU 18/2003,” terang Hakim Konstitusi Manahan Sitompul membacakan pertimbangan hukum permohonan yang diajukan oleh sejumlah advokat tersebut.
Dalam permohonannya, Pemohon menitikberatkan persoalan mengenai pihak yang berwenang dalam menilai itikad baik advokat sebagaimana tercantum dalam Pasal 16 UU Advokat. Menurut Pemohon, Dewan Kehormatan Organisasi Advokat (DKOA) merupakan satu-satunya lembaga yang berhak menilai itikad baik advokat secara objektif. Artinya, ada mekanisme yang harus ditempuh yakni melalui pemeriksaan DKOA sebelum kemudian dikeluarkan persetujuan apabila dalam pemeriksaan terbukti melakukan tindakan atau perbuatan dalam menjalankan tugasnya tidak berdasarkan itikad baik. Persetujuan DKOA inilah bentuk mekanisime hak imunitas seorang advokat yang sedang menjalankan tugasnya agar terbebas dari ketakutan dan kekhawatiran dari penilaian subjektif dugaan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan (Perdata atau Pidana) yang dilakukan oleh advokat saat sedang menjalankan tugas profesinya dalam membela kepentingan hukum kliennya. Hal ini tentunya juga sebagai bentuk jaminan dan perlindungan serta upaya dalam menjaga martabat dan kehormatan advokat.
Selain itu, Manahan menjelaskan hak imunitas advokat yang dijamin dan dilindungi dalam UU Advokat. Meski demikian, ini tidak serta-merta membuat Advokat menjadi kebal terhadap hukum. Hal ini karena hak imunitas tersebut digantungkan kepada apakah profesinya dilakukan berdasarkan iktikad baik atau tidak.
“Dalam Penjelasan Pasal 16 UU 18/2003 dinyatakan,’Yang dimaksud dengan iktikad baik adalah menjalankan tugas profesinya demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk membela kepentingan kliennya’. Maka dengan demikian pengertian iktikad baik yang diberikan dalam Penjelasan Pasal 16 UU 18/2003 mensyaratkan dalam membela kepentingan kliennya pun Advokat harus tetap berdasarkan aturan hukum,” tegasnya membacakan putusan pada Rabu (27/2/2019) di Ruang Sidang Pleno MK.
Lebih lanjut, Manahan menyebut dalam pertimbangan Putusan Mahkamah Nomor 7/PUU-XVI/2018 dinyatakan, “Kata kunci dari rumusan hak imunitas dalam ketentuan ini bukan terletak pada “kepentingan pembelaan klien”, melainkan pada “iktikad baik”. Artinya, secara a contrario, imunitas tersebut dengan sendirinya gugur tatkala unsur “itikad baik” dimaksud tidak terpenuhi”. Maka dengan demikian kebebasan atau hak imunitas profesi advokat saat melaksanakan tugas pembelaan hukum kepada kliennya harus didasarkan kepada itikad baik, yakni berpegang pada Kode Etik dan peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya, kata Manahan, para Pemohon mendalilkan proses hukum bagi advokat yang diduga melakukan pelanggaran pidana atau perbuatan melawan hukum atau setidaknya akan diperiksa oleh Kepolisian harus menunggu hasil pemeriksaan DKOA. MK, ujarnya, mencoba membandingkan dengan profesi jaksa ketika diduga melakukan tindak pelanggaran pidana maupun perbuatan melawan hukum perdata.
“UU Kejaksaan menegaskan proses hukum dapat berjalan secara bersamaan dengan proses pemeriksaan etik di Kejaksaan. Hal tersebut dikarenakan pelanggaran etik dengan pelanggaran pidana atau perdata dari seorang Jaksa merupakan dua hal yang berbeda untuk dinilai dan tidak harus menunggu salah satu proses pemeriksaan dari keduanya selesai lebih dulu,” jelasnya.
Terakhir, Manahan memaparkan penanganan pelanggaran kode etik yang berlaku terhadap jaksa seharusnya tidak berbeda dengan penanganan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh advokat. Artinya, jika seorang advokat dalam menjalankan profesinya diduga melakukan pelanggaran pidana atau perbuatan melawan hukum, maka proses penegakan etik yang sedang berlangsung yang dilakukan oleh DKOA tidak menghentikan proses pemeriksaan yang dilakukan oleh penegak hukum. Sebab pemeriksaan yang dilakukan oleh DKOA tersebut merupakan proses penegakan etik yang berkait dengan pelaksanaan profesi.
Pada sidang yang sama, MK juga menolak permohonan Wahyu Nugroho, dkk., yang mengajukan pengujian Pasal 16 UU Advokat. Hakim Konstitusi Suhartoyo yang membacakan pertimbangan hukum menyebut pertimbangan hukum Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-XVI/2018 mutatis mutandis berlaku terhadap pokok permohonan para Pemohon a quo sehingga pokok permohonan a quo tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya. (Arif Satriantoro/LA)