JAKARTA, HUMAS MKRI - Para mahasiswa Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang berkunjung ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (27/2) siang. Rombongan seluruh mahasiswa dan dosen itu diterima oleh Peneliti MK Bisariyadi yang menerangkan berbagai hal terkait MK.
Bisariyadi yang akrab disapa Bisar menuturkan sejarah berdirinya MK di Indonesia. Berawal dengan diadopsinya ide MK (constitutional court) dalam amandemen konstitusi yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada 2001 sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B Undang-Undang Dasar 1945 hasil Perubahan Ketiga yang disahkan pada 9 Nopember 2001. “Ide pembentukan MK merupakan salah satu perkembangan pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang muncul di abad ke-20,” ujar Bisar kepada 200 mahasiswa.
Setelah disahkannya Perubahan Ketiga UUD 1945, dalam rangka menunggu pembentukan MK, MPR menetapkan Mahkamah Agung (MA) menjalankan fungsi MK untuk sementara sebagaimana diatur dalam Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945. Pemerintah kemudian membuat Rancangan Undang-Undang (RUU) mengenai Mahkamah Konstitusi. Setelah melalui pembahasan mendalam, DPR dan Pemerintah menyetujui secara bersama UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2003.
Lebih lanjut Bisar menjelaskan perihal kekuasaan dalam satu negara. Menurutnya, kekuasaan yang bersifat absolutisme atau yang hanya dimiliki oleh satu pihak memiliki kecenderungan untuk korupsi. Ia mencontohkan zaman Nazi di Jerman pada 1933 sampai dengan 1945. Saat itu, kekuasaan dipegang oleh satu orang, yakni Adolf Hitler sehingga di Jerman pada masa itu sangat kuat unsur korupsinya.
Berdasar fakta tersebut, ujar Bisar, kekuasaan dibagi ke dalam beberapa cabang. “Ada kekuasaan yang dibagi tiga atau disebut trias politica maupun yang dibagi 4 atau disebut catur praja,” imbuhnya. Namun, sistem kekuasaan yang lebih banyak dianut oleh negara-negara di dunia adalah trias politica. Trias politica membagi kekuasaan menjadi tiga kekuasaan dan cenderung seimbang, yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Ia menjelaskan, eksekutif adalah cabang kekuasaan pemerintah yang dipimpin oleh Presiden sebagai kepala negara dibantu wakil presiden dan para menteri.
Sedangkan cabang kekuasaan legislatif disebut sebagai pembuat undang-undang. Sebelum Undang-Undang Dasar 1945 diubah pada tahun 1999-2002, Indonesia hanya mengenal satu cabang kekuasaan legislatif yang disebut Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Setelah perubahan UUD 1945, dibentuk lembaga legislatif lain selain DPR, yakni Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Berbeda dengan DPR yang anggotanya terdiri dari partai politik, DPD merupakan lembaga yang terdiri dari perwakilan tiap provinsi. Namun, kewenangan DPD dibatasi hanya membentuk undang-undang yang memiliki sifat kedaerahan, misalnya UU tentang pemerintahan desa dan UU tentang otonomi daerah.
Selain itu, ada cabang kekuasaan judikatif. Sebelum perubahan UUD 1945, Indonesia hanya memiliki satu lembaga yudikatif yakni Mahkamah Agung (MA). Sejalan dengan perubahan konstitusi, yang salah satunya mengamatkan untuk segera membentuk Mahkamah Konstitusi, maka dibentuklah MK pada 2003.
Dalam menjalankan tugasnya, MK memiliki empat kewenangan dan satu kewajiban. Kewenangan pertama adalah menguji UU terhadap UUD. Kewenangan kedua adalah memutus sengketa antara lembaga negara. Sedangkan kewenangan ketiga adalah memutus pembubaran partai politik. Di samping itu ada kewenangan memutus perkara hasil pemilihan umum. Selain empat kewenangan tersebut, MK juga wajib memutus pendapat DPR apabila Presiden dan atau Wakil Presiden diduga melakukan pelanggaran hukum maupun perbuatan tercela. (Nano Tresna Arfana/LA)