JAKARTA, HUMAS MKRI - Pusat Penelitian, Pengkajian Perkara, dan Perpustakaan Mahkamah Konstitusi (Puslitka MK) menyelenggarakan forum group discussion (FGD) yang bertema “Kedudukan Hukum (Legal Standing) Partai Politik dalam Pengujian Undang-Undang” pada Selasa (26/2/2019) di Aula MK. Beberapa pakar hukum menjadi narasumber dalam kegiatan tersebut, yakni Guru Besar Ilmu Perundang-Undangan Universitas Indonesia Maria Farida Indrati, Hakim Konstitusi periode 2008 - 2013 Maruarar Siahaan, dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar.
Terkait tema tersebut, Maria Farida Indrati menegaskan bahwa kedudukan hukum Pemohon yang dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang sudah diatur jelas dalam Pasal 51 UU MK. Menurut hakim konstitusi dua periode tersebut, UU MK tidak membatasi kedudukan hukum (legal standing). “Salah satunya perseorangan warga negara indonesia. Ini yang menjadi pintu masuknya. Kemudian jika melihat Pasal 27, Pasal 28, Pasal 28A, Pasal 28J mengatur mengenai hak asasi manusia dimana menggunakan kata “setiap orang” dan bukan menggunakan kata setiap orang anggota DPR,” terangnya.
Menurut hakim konstitusi wanita pertama di Indonesia tersebut, kedudukan hukum parpol harus dibiarkan saja dalam setiap permohonan. Ia menilai hanya hakim konstitusi yang berhak memutuskan mengenai kedudukan hukum Pemohon. “Dibiarkan saja, biarkan hakim MK yang memutuskannya apakah dia hak konstitusionalnya terganggu. Jika melihat pergulatan pembuatan UU, tentu ada partai yang tidak setuju. Pertanyaanya, apakah yang tidak setuju itu serta-merta dianggap sebagai pihak yang setuju? Apakah dia tidak bisa menjadi pihak yang memiliki legal standing terhadap UU yang dia tidak setuju tersebut?” ujarnya.
Terkait adanya pernyataan bahwa MK tidak konsisten terhadap kedudukan hukum, menurut Maria, hal tersebut wajar karena terdapat kondisi-kondisi tertentu seorang anggota parpol memiliki kedudukan hukum. Ia pun menyarankan apabila kedudukan hukum anggota parpol hendak dirumuskan dalam undang-undang, maka rumusannya harus fleksibel.
“Jangan merumuskan secara lebih ketat (norma tertutup) karena di masa depan mungkin terdapat kasus yang merugikan hak-hak anggota partai maupun partai dimana MK tidak dapat memutusnya. Putusan MK dapat berkembangan dengan berbagai ragam. Putusan MK jangan dilihat dari amar putusannya saja, tetapi dalam pertimbangan hukumnya. Dari situ dapat dilihat ratio decidendi-nya di mana dia diberikan legal standing maupun tidak memiliki legal standing. Putusan MK jika diikuti dalam putusan setelahnya, maka dapat dijadikan yurisprudensi,” paparnya.
Bersikap Fleksibel
Hal senada juga disampaikan oleh Zainal Arifin Mochtar yang berpendapat agar MK bersikap fleksibel dalam menentukan kedudukan hukum parpol dalam pengujian undang-undang. Pegiat Antikorupsi UGM tersebut juga menyatakan jika Pemohon menjabat sebagai anggota partai dan anggota DPR, maka masih memiliki hak mengajukan pengujian undang-undang tergantung pada kasusnya. Ia juga menyebut perlu ada batasan terkait hak mengajukan permohonan pengujian undang-undang. “Misalnya, jika dia mengajukan undang-undang yang dia kalah di parlemen, dia berhak menguji, tetapi secara formil. Tetapi ketika dia mengajukan PUU terhadap UU yang dia juga terlibat, maka dia tidak berhak mengajukan UU secara materiil,” paparnya.
Sementara terkait anggota DPRD, Zainal menilai seharusnya anggota DPRD berhak mengajukan pengujian undang-undang karena dia berhak memperjuangkan daerahnya. Akan tetapi, ia membatasi jika anggota DPRD tersebut mempersoalkan kasus terkait parpolnya, maka tidak boleh maju. “Karena dia dapat maju memperjuangkan melalui partainya secara nasional. Tetapi jika dia maju sebagai pejabat daerah, maka dia memiliki legal standing karena sedang memperjuangkan kepentingan daerahnya,” tegasnya.
Sedangkan bagi anggota parpol biasa yang tidak menjabat sebagai pengurus maupun anggota DPR, Zainal mengemukakan pendapat bergantung pada kepentingan yang dibawa. Jika kepentingannya terkait kepartaian, maka MK harus melihat posisi partainya ketika merumuskan undang-undang yang diujikan. “Pada saat yang sama dia memiliki legal standing sebagai individu, tetapi jika kasusnya berkaitan dengan kepartaian, maka harus melalui partainya, yakni pengujian formil,” tandasnya.
Tidak Miliki Kedudukan Hukum
Hal berbeda justru diungkapkan oleh Maruarar Siahaaan. Hakim Konstitusi periode pertama ini menegaskan ketidaksetujuan jika anggota parpol diberikan kedudukan hukum untuk dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang. Ia menilai setiap anggota parpol tersebut telah memilih melalui jalur parlemen. Jika ia ingin menjadi pihak yang memiliki kedudukan hukum, maka ia harus menjadi rakyat biasa.
“Namun jika dia memilih menjadi anggota parlemen, maka legal standing dia dalam mengajukan judicial review harus dianulir. Demikian juga dengan anggota parlemen, merupakan pilihan dia untuk dapat mempengaruhi kebijakan melalui jalur parlemen. Sudah ada wadahnya secara konstitusional yakni melalui wadah parlemen,” tegasnya.
Sementara berkaitan dengan anggota parpol, Maruarar berpendapat sepanjang Pemohon bukan pengurus, maka ia seharusnya memiliki hak untuk mengajukan pengujian undang-undang. “Berbeda dengan pengurus, yang pada dasarnya merupakan satu kesatuan dengan badan hukumnya (parpol). Dalam bidang perdata/pidana, ketika badan hukum melakukan pelanggaran maka pertanggungjawabannya ada pada pengurusnya. Di parpol juga merupakan satu kesatuan dan mewakili serta pribadi yang lain sehingga tidak memiliki legal standing,” tandasnya. (Lulu Anjarsari)