JAKARTA, HUMAS MKRI - UU Guru dan Dosen tidak bersifat diskriminatif terkait definisi guru dalam pendidikan formal dan nonformal. Demikian disampaikan oleh Staf Ahli Menteri Bidang Regulasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Chatarina M. Girsang dalam sidang lanjutan uji Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UU Guru dan Dosen) junctis Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas), pada Senin (25/2/2019).
Keterangan Chatarina yang mewakili Pemerintah menegaskan bantahan Pemerintah atas dalil Pemohon yang mempermasalahkan pendidik PAUD nonformal yang tidak dianggap sebagai guru. “Bahwa sistem pendidikan nasional telah mengatur dan membagi jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal. Masing-masing jalur pendidikan dapat saling melengkapi dan memperkaya. Ini mempunyai arti bahwa setiap warga negara Indonesia dapat mengikuti pendidikan sesuai dengan pilihannya, apakah pendidikan formal, nonformal, atau informal,” jelasnya.
Sebagai konsekuensi dari pembagian jalur tersebut, lanjut Chatarina, dalam sistem pendidikan nasional, maka pasti berkaitan dengan sebutan dan kualifikasi pendidiknya. Untuk itu, adanya PAUD formal dan PAUD nonformal pastinya berkonsekuensi terhadap adanya kualifikasi dan status pendidiknya. Tetapi konsekuensi ini tidak diskriminatif dan juga tidak menimbulkan adanya halangan atas hak, atas pekerjaan, dan penghidupan yang layak.
Chatarina menyebut konsekuensi dari adanya jalur dalam pendidikan, yakni formal, nonformal, dan informal, maka sebutan dan kualifikasi pendidiknya juga berbeda. Syarat kualifikasi dan kompetensi pendidik pada jalur formal secara yuridis dibedakan dengan kualifikasi dan kompentensi jalur pendidikan nonformal.
Perbedaan syarat kualifikasi dan kompetensi pendidik, sambung Chatarina, memiliki konsekuensi perbedaan atas hak dan kewajiban bagi pendidik pada jalur formal maupun nonformal. Apabila dalam penerapan ternyata terdapat kualifikasi dan kompetensi yang sama bagi pendidik PAUD formal maupun nonformal, maka hal ini merupakan penyimpangan atas ketentuan peraturan perundang-undangan dan bukan menjadi tuntutan untuk disamakan secara yuridis, serta menyatakan telah terjadinya pelanggaran hak konstitusional.
“Dengan tidak disebutnya pendidik PAUD nonformal sebagai guru, tidak berarti hal ini meniadakan, mengurangi, atau menghalangi hak untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 27 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Dalam hal ini adalah bahwa Pemohon pasti tetap menerima hak-haknya sebagai pendidik pada PAUD nonformal sesuai dengan ketentuan Pasal 40 Undang-Undang Sisdiknas,” tegasnya.
Oleh karena itu, Chatarina menegaskan dalam pandangan Pemerintah, anggapan Pemohon yang menyatakan UU Guru dan Dosen telah menghilangkan jaminan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi pendidik PAUD nonformal adalah tidak tepat. Sebagai pendidik pada PAUD nonformal, tidak serta-merta mengakibatkan Pemohon kehilangan kesempatan untuk mengembangkan kompetensi serta jaminan kesejahteraan, sehingga tidak terjadi pelanggaran hak konstitusional Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) UUD 1945.
Definisi Pekerjaan Guru
Kemudian, Chatarina juga menjelaskan pekerjaan guru hanya dapat dilakukan oleh seseorang yang mempunyai kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik sesuai dengan persyaratan untuk setiap jenjang dan jenis pendidikan. Hal ini konsisten didefinisikan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UU Guru dan Dosen).
Keterangan Chatarina tersebut membantah dalil Pemohon yang mendalilkan pengakuan sebutan guru bagi PAUD formal dan nonformal setara serta menyebut pendidik paud sebagai guru sesuai peraturan perundang-undangan. Ia juga menegaskan bahwa dalam penjelasan UU Guru dan Dosen disebutkan guru sebagai tenaga profesional.
“Penjelasan ini sejak awal konsisten dan sesuai karena memang maksud pembentuk undang-undang sejak awal adalah hanya mengatur terkait guru dan dosen pada satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur pendidikan formal dalam setiap jenjang dan jenis pendidikan, baik yang diselenggarakan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, atau masyarakat,” papar Catarina dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman tersebut.
Chatarina melanjutkan hal tersebut tidak lepas dari tujuan utama UU Guru dan Dosen, yaitu untuk menciptakan profesionalisme guru dan dosen dalam penyelenggaraan pendidikan formal yang bermutu. Profesional dalam UU tersebut, lanjutnya, diartikan sebagai pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu, serta memerlukan pendidikan profesi.
“Maka sebutan bukan guru dalam PAUD formal adalah konstitusi yuridis yang tidak bisa disamakan dengan kenyataan sosial atau anggapan awam. Sebutan guru oleh masyarakat sebagai kenyataan sosial, tidak lantas mengakibatkan mereka bertindak, berperan, dan berlaku sebagaimana guru dalam jalur pendidikan formal,” terangnya menanggapi perkara Nomor 2/PUU-XVII/2019 tersebut.
Timbulkan Polemik
Selain itu, Chatarina menegaskan apabila MK mengabulkan permohonan tersebut, maka semua guru dalam pendidikan nonformal harus masuk pada konsep yuridis. Dampaknya semua guru dalam pendidikan nonformal harus mendapat sertifikasi, tunjangan, dan fasilitas.
“Bila kita mengikuti dalil Pemohon, maka kewajiban negara dalam membidangi pendidikan sangat potensial akan terganggu atau tidak dapat terpenuhi karena kaitan dengan ketersediaan anggaran negara. Maka kewajiban negara dalam bidang pendidikan untuk mengatur satu sistem pendidikan nasional berpotensial akan sangat menimbulkan polemik berlebih jika dikaitkan implikasinya dengan beban anggaran negara,” jelasnya.
Permohonan yang teregistrasi Nomor 2/PUU-XVII/2019 ini dimohonkan oleh Anisa Rosadi yang berprofesi sebagai guru Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Dalam permohonannya, Pemohon menyampaikan Pasal 1 angka 14; Pasal 26 ayat (3); Pasal 28 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4); serta Pasal 39 ayat (2) UU Sisdiknas bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan (2); Pasal 28D ayat (1) dan (2); Pasal 28C ayat (1); serta Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Menurut Pemohon, Pasal 1 angka 1 dan Pasal 2 ayat (1) UU Guru dan Dosen merugikan hak konstitusional Pemohon karena hanya mengakui bahwa guru hanyalah pendidik pada PAUD formal, sedangkan pendidik pada PAUD nonformal secara hukum tidak diakui sebagai guru. Akibatnya, Pemohon tidak mendapatkan jaminan untuk mengembangkan kompetensi seperti sertifikasi guru dan jaminan kesejahteraan seperti gaji pokok, tunjangan fungsional, dan tunjangan khusus lainnya. Pemohon mendalilkan kerugian konstitusional Pemohon hanya berkaitan dengan UU Guru dan Dosen, yang telah menghilangkan jaminan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi Pemohon.
Untuk itu, melalui Petitum, Pemohon memohonkan agar Mahkamah menyatakan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘termasuk pula Pendidikan Anak Usia Dini pada jalur nonformal’.
Majelis Hakim Konstitusi menjelaskan sidang berikutnya akan digelar pada Senin, 4 Maret 2019 pukul 11.00 WIB. Sidang tersebut diagendakan untuk mendengar keterangan Ahli yang diajukan oleh Pemohon. (Arif Satriantoro/LA)