JAKARTA, HUMAS MKRI – Pemerintah yang diwakili oleh Direktur Ligitasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Ardiansyah memaparkan, kata “nasional” dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) merupakan bagian penjelasan norma Pasal 2 UU Tipikor yang termasuk dalam penerapan asas “tidak ada tindak pidana (delik), tidak ada hukuman tanpa (didasari) peraturan yang mendahuluinya” (nullum crimen, nulla poena sine lege stricta). Hal ini berarti norma pidana yang dibangun secara ketat dengan mengukur bentuk kerugian, besar dan ringannya kerugian serta dampak yang timbul akibat pelanggaran tindak pidana sebagai unsur tindak pidana.
“Kata ‘nasional’ merupakan salah satu pengetatan norma pidana yang terkandung dalam Pasal 2 (UU Tipikor) yang membedakan antara keadaan ‘bencana alam’ dengan keadaan ‘bencana alam nasional’. Jika tindak pidana korupsi dilakukan dalam keadaan ‘bencana alam’ maka berlaku ketentuan Pasal 1 (UU Tipikor). Namun jika tindak pidana korupsi dilakukan dalam keadaan ‘bencana alam nasional’ maka berlaku ketentuan Pasal 2 (UU TIpikor),” jelas wakil Pemerintah, Ardiansyah menanggapi Perkara Nomor 4/PUU-XVII/2019 ini.
Dikatakan Ardiansyah, tindak pidana korupsi dalam keadaan bencana alam dikenakan sanksi pidana paling singkat empat tahun dan paling lama 20 tahun serta denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar. Namun tindak pidana korupsi dalam keadaan bencana alam nasional dapat diancam hukuman mati.
Harapan para Pemohon agar kata “nasional” dihapus menjadi “bencana alam” sehingga hukuman mati dapat diterapkan, menurut Pemerintah, merupakan pendapat yang keliru dan tidak beralasan hukum. Karena selain tidak implementatif, juga dapat menimbulkan permasalahan hukum. Menurut Pemerintah, hukuman mati merupakan kejahatan yang sangat berat sehingga hukuman mati tidak dapat diterapkan begitu saja dan memerlukan syarat-syarat tertentu.
Dalam sidang yang berlangsung pada Senin (25/2/2019), Pemerintah juga berpendapat, dalil Pemohon yang menyatakan kata “nasional” menghambat upaya pemberantasan korupsi dalam hal pemberian sanksi hukuman mati dan menimbulkan ketidakpastian hukum, merupakan pendapat yang tidak beralasan hukum. Alasannya, disamping telah sesuai dengan tata cara pembentukan norma pidana yang mengacu pada asas-asas hukum pidana dan beberapa teori pidana, kata “nasional” telah memberikan kepastian hukum dalam pemberatan hukum pidana.
Pada sidang pendahuluan, para Pemohon yang terdiri atas seorang dosen bernama Jupri (Pemohon I) dan dua mahasiswa yakni Ade Putri Lestari (Pemohon II) dan Oktav Dila Livia (Pemohon III). menguji Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor.
Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor menyebutkan, “Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan.” Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor menyebutkan, “Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.”
Para Pemohon menyoroti kata “nasional” dalam penjelasan norma tersebut. Menurut para Pemohon, pelaku tindak pidana korupsi dalam dana penanggulangan bencana alam seolah-olah dilindungi oleh norma di atas sepanjang status bencana alam yang dananya dikorupsikan tersebut tidak ditetapkan sebagai bencana alam nasional.
Dalam permohonannya, para Pemohon menjelaskan bahwa setelah bencana alam yang terjadi di Palu dan Donggala tahun 2018, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan dugaan tindak pidana korupsi dalam proyek pengadaan pipa high density polyethylene (HDPE) di daerah tersebut. Para Pemohon juga menjelaskan temuan lain, yaitu dugaan korupsi di beberapa proyek pembangungan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM). Para Pemohon berargumen, dengan tidak ditetapkannya status bencana alam nasional di Palu dan Donggala, Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor menjadi tidak dapat diterapkan.
Menurut para Pemohon, tindak pidana korupsi seharusnya termasuk dalam jenis kejahatan luar biasa, bahkan kejahatan terhadap kemanusiaan, apalagi jika hal tersebut dilakukan dalam upaya penanggulangan bencana alam. Para Pemohon berargumen bahwa sanksi pidana hukuman mati seharusnya diterapkan bagi pelaku tindak pidana korupsi dalam keadaan bencana alam, terlepas ditetapkan berstatus nasional atau tidak.
Sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 ini akan digelar pada Selasa, 5 Maret 2019 dengan agenda mendengarkan keterangan dua Ahli Pemohon. (Nano Tresna Arfana/LA)