JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang uji Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) di Ruang Sidang Panel MK pada Rabu (20/2/19). Sidang perkara yang teregistrasi Nomor 10/PUU-XVII/2019 ini dipimpin oleh Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna dengan didampingi Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Saldi Isra. Para Pemohon yakni Ahmad Syauqi, Ammar Saifullah, Taufiqurrahman Arief, Khairul Hadi, Yun Frida Isnaini, dan Zhillan Zhalilan yang merupakan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam As-Syafiiyah menyampaikan Pasal 299 ayat (1) dan Pasal 448 ayat (2) huruf c UU Pemilu.
Dalam sidang perbaikan kali ini, Ammar Saifullah sebagai salah satu Pemohon menyampaikan pihaknya telah melakukan perbaikan permohonan terutama terkait kerugian konstitusional para Pemohon atas berlakunya UU Pemilu. Para Pemohon mendalilkan sebagai mahasiswa yang peduli terhadap terselenggaranya pemilu, maka memiliki perhatian yang intens terhadap pileg dan pilpres pada 2019. Pada hakikatnya, norma a quo memberikan hak pada calon presiden untuk melaksanakan kampanye sehingga memberikan kebebasan pada calon presiden.
“Atas dasar hal itu, berpotensi terhadap hilangnya hak kampanye calon presiden petahan yang berkaitan pula dengan hak para Pemohon sebagai warga negara untuk mendapatkan informasi visi misi dari pasangan calon presiden petahana,” jelas Ammar.
Selain itu, Ammar juga menyampaikan dengan berlakunya norma a quo, maka potensial terhadap terlanggarnya hak konstitusional para Pemohon dengan tidak transparannya kerja dan hasil kerja tim survei. Pada sidang sebelumnya, para Pemohon menyampaikan sebelum berlaku UU Pemilu, apabila calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) petahana mengikuti pemilu presiden (pilpres), maka harus mengambil cuti sekalipun hak-hak protokol masih melekat, dengan dibatasinya penggunaan fasilitas negara. Bahkan dalam Pasal 6 UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres) diatur bahwa pejabat negara yang mencalonkan diri wajib mundur dari jabatan. Namun, pada pelaksanaan Pilpres 2019 dengan berlandaskan UU Pemilu tidak diatur kewajiban yang demikian. Hal ini, menurut para Pemohon, kemudian dapat saja menimbulkan permasalahan terkait pelaksanaan kampanye bagi petahana.
Selain itu, terkait dengan Pasal 448 ayat (2) huruf c UU Pemilu, Pemohon berpendapat pelaksanaan survei terhadap elektabilitas capres dan cawapres perlu dijelaskan asal sumber dana survei untuk tidak menimbulkan polemik. Untuk itu, perlu diangkat ke publik, metodologi survei dan sumber penyandang dana survei dari paslon petahana tersebut. Berdasarkan seluruh alasan tersebut, para Pemohon memohonkan kepada Majelis Hakim Konstitusi menyatakan Pasal 299 ayat (1) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 serta tidak memiliki kekuatan hukum mengikat jika frasa “Presiden dan Wakil Presiden mempunyai hak melaksanakan kampanye” tidak ditafsirkan sebagai “Presiden dan Wakil Presiden mempunyai hak melaksanakan kampanye di luar hari kerja bagi calon presiden dan wakil presiden petahana”. Sedangkan Pasal 448 ayat (2) huruf c UU Pemilu tidak ditafsirkan sebagai “Partisipasi masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam bentuk c. Survei atau jajak pendapat tentang pemilu dengan kewajiban menyebutkan sumber penyandang dana survei.” (Sri Pujianti/LA)