JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil (UU ASN), Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas), Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UU Guru dan Dosen), Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan), Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (UU RS) dan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan (UU Keperawatan), pada Selasa (19/2/2019) siang. Sidang perdana perkara yang teregistrasi Nomor 13/PUU-XVII/2019 ini digelar dengan agenda Pemeriksaan Pendahuluan. Pegawai Negeri Sipil RSUD Pemda Kabupaten Ponorogo Rochmadi Sularsono dan Forum Pemberdayaan Insan Madani Mitreka Satatha (Forpimmisa) tercatat sebagai Pemohon perkara tersebut.
Para Pemohon merasa hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya sejumlah pasal dalam undang-undang yang dimohonkan untuk diuji terutama terkait aturan mengenai pegawai tidak tetap. Rochmadi Sularsono yang hadir dalam persidangan tersebut menilai UU yang diujikan mengakibatkan tidak adanya kepastian hukum dan tindak diskriminatif bagi pegawai tidak tetap. Sebab menurut Pemohon, yang dimaksud pegawai tidak tetap adalah pegawai yang diangkat untuk jangka waktu tertentu guna melaksanakan tugas pemerintahan dan administrasi sesuai kebutuhan dan kemampuan organisasi. “Dalam UU a quo, hanya menjelaskan 2 jenis pegawai ASN, yaitu PNS dan PPK. Padahal menurut Para Pemohon masih ada satu jenis pegawai lagi yaitu kalangan non PNS,” ujarnya melalui video teleconference (vicon).
Rochmadi menyebut Pemohon juga mempermasalahkan kewenangan mengangkat ASN untuk dunia pendidikan dan dunia kesehatan yang bertentangan dengan undang-undang lain. Dalam petitumnya, Pemohon meminta seluruh pasal dalam undang-undang yang diajukan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Tanda Tangan Pemohon
Menanggapi permohonan Pemohon, Ketua Panel Arief Hidayat mempertanyakan klaim Pemohon yang mengatasnamakan banyak dalam permohonan. “Ini surat kuasanya tidak ada. Yang paling penting, Pemohon juga tidak menandatangani Permohonannya,” jelasnya.
Senada, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna mempertanyakan keseriusan Pemohon mengajukan perkara ini. Ia menuturkan jika tidak ada tanda tangan dalam permohonan, maka akan dianggap sebagai surat kaleng semata.
Di sisi lain, Palguna juga mengkritisi format Permohonan yang dibuat sebab masih kacau dan tidak sesuai kaidah yang baku. Palguna menyarankan Pemohon meminta masukan dari ahli yang pernah berperkara di MK. Palguna mengingatkan agar permohonan tersebut diperbaiki secara menyeluruh jika hendak terus berlanjut di MK. “Kemudian juga kedudukan hukum mesti diperjelas. Kerugian konstitusional apa yang dialami Pemohon,” tegasnya menambahkan.
Terakhir, Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul melengkapi masukan secara keseluruhan karena permohonan masih kacau dan tidak memenuhi sistematika yang benar. “Pemohon mesti berkonsultasi secara mendalam pada orang yang lebih ahli untuk membuat Permohonan ini,” tandasnya.
Pemohon diberi waktu 14 hari kerja untuk memperbaiki permohonannya. Sidang berikutnya digelar dengan agenda pemeriksaan perbaikan permohonan. (Arif Satriantoro/LA)