Faktor penyebab otoritarianisme Orde Baru tidak hanya terletak pada pelakunya, namun juga disebabkan lemahnya sistem hukum dan tata negara Indonesia. Karena itu, masyarakat Indonesia dengan gerakan reformasi menjadikan perubahan UUD 1945 sebagai salah satu tuntutan dasarnya.
Demikian sebut Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Jimly Asshiddiqie, dalam orasi ilmiahnya yang disampaikan pada acara Wisuda Sarjana dan Pascasarjana Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Mandala Indonesia (STIAMI), Sabtu (5/3), di Auditorium Gedung Manggala Wanabhakti, Jakarta.
Menanggapi tuntutan masyarakat tersebut, lanjut Jimly, MPR sebagai lembaga legislatif mengagendakan amandemen terhadap UUD 1945 dalam setiap sidang tahunannya, mulai tahun 1999 hingga tahun 2002. Sebagai hasilnya, amandemen tersebut telah mengubah 300 persen ketentuan dalam UUD 1945 yang membawa dampak dalam sistem pemerintahan dan kelembagaan negara Indonesia.
âDalam hal sistem pemerintahan, misalnya, sebelum amandemen sistem pemerintahan Indonesia tidak sepenuhnya menganut sistem presidensiil. Setelah amandemen pertama, sistem pemerintahan negara kita disempurnakan sehingga memenuhi ciri-ciri umum sistem presidensiil. Kemudian dalam hal sistem kelembagaan, setelah amandemen Indonesia tidak lagi menganut sitem pemisahan kekuasaan, tetapi sistem pembagian kekuasaan,â jelas Jimly.
Di samping itu, amandemen UUD 1945 pun memunculkan sistem check and balances dalam sistem pembagian kekuasaan lembaga negara. âDalam sistem check and balances ini, selalu ada peran tertentu dari lembaga lain dalam pelaksanaan kekuasaan suatu lembaga. Sistem ini penting untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan dan agar tidak terjadi kebuntuan dalam hubungan antarlembaga. Misalnya, dalam pembuatan undang-undang, DPR perlu bekerjasama dengan co-legislator yaitu Presiden dan DPR. Kemudian jika ternyata undang-undang itu terbukti bertentangan dengan UUD 1945, MK dapat menyatakan undang-undang itu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.â Papar Jimly. [Kencana Suluh Hikmah]