JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menutup program magang yang diikuti empat mahasiswa dari UIN Syarif Hidayatullah dan tiga mahasiswa dari Australia. Penutupan program magang yang berlangsung selama bulan Januari – Februari 2019 dilakukan oleh Kepala Bagian Sumber Daya Manusia Iman Sudirman pada Jumat (15/2/2019) di Ruang Rapat Gedung MK.
Dalam sambutannya, Iman berterima kasih kepada para peserta magang yang telah memilih MK sebagai tempat memperdalam ilmu. Ia berharap ilmu yang didapat para mahasiswa dapat bermanfaat ke depannya. “Semoga ke depannya, program ini akan menjadi pioneer program serupa ke depannya,” jelas Iman.
Sementara itu, ketiga mahasiswa Australia yang melakukan program magang atas kerja sama MK, Universitas Atmajaya, dan ACICIS, memaparkan laporan hasil magang di hadapan reviewer di antaranya Peneliti Senior MK Pan Mohamad Faiz, Kepala Subbagian Pengembangan SDM Andi Hakim, Kepala Subbagian Sekretariat Tetap AACC R.A. Indah Apriyanti, serta Kepala Subbagian Kerja Sama Luar Negeri Immanuel Hutasoit. Mereka adalah Molly Cooke dari Monash University, Tom Nobes dari Australia National University, dan Salonika Mitter dari Macquarie University.
Dalam pemaparannya, Tom Nobes memaparkan mengenai perbedaan sistem hukum Australia dengan Indonesia. Menurutnya, UUD 1945 memaparkan dengan detail mengenai hak konstitusional setiap warga negara, seperti jaminan ekonomi, kebebasan beragama, kebebasan berserikat dan berkumpul, serta jaminan pendidikan. Berbeda halnya dengan Australia, hak konstitusional individu yang dijamin hanyalah hak mengenai kebebasan beragama.
Selain itu, Tom juga merasa heran mengenai sistem hukum pidana Indonesia yang masih menganut KUHAP yang merupakan undang-undang bawaan dari Belanda. Hal ini berbeda dengan yang terjadi di Australia, karena Parlemen produktif mengeluarkan regulasi setiap tahunnya. “Di Australia, jika ada yang mengajukan gugatan atas undang-undang, kemudian hakim memutuskan undang-undang itu harus diubah, maka undang-undang tersebut akan diubah,” papar Tom.
Sementara itu, Molly Cooke yang memaparkan mengenai “Analisa Dualisme Sistem Pengujian Undang-Undang dan Hubungan Antara Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung”, menganalisa lebih dalam mengenai perbedaan sistem pengujian UU antara MK dan MA. Ia menyebut MK sebagai hasil dari reformasi mengubah sistem hukum Indonesia. Jika semula segala pengujian UU dilakukan di MA, maka setelah reformasi, kewenangan tersebut beralih kepada MK.
Sedangkan Salonika Mitter mengangkat mengenai “Apakah MK Melindungi atau Menghalangi Kebebasan Beragama?”. Ia berpendapat MK memberi penghormatan kepada konteks historis, sosial dan keagamaan Indonesia dengan menegakkan UU Penodaan Agama, hal ini melindungi hak konstitusional atas kebebasan beragama. Meskipun penerapan UU Penodaan Agama relatif luas, UU tersebut diciptakan pada saat sistem demokrasi Indonesia mulai terbentuk, dan membutuhkan negara untuk dapat menjamin perlindungan penganut agama. Meskipun sulit untuk mengatur undang-undang seperti itu untuk tidak bersifat diskriminatif terhadap agama minoritas atau menyimpang, yang harus diingatkan bahwa Indonesia berfokus pada pendekatan berbasis konsensus untuk melindungi hak asasi manusia. (Lulu Anjarsari)