JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji materiil aturan mengenai likuidator sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT), pada Kamis (14/2/2019) di Ruang Sidang Pleno MK. Majelis Hakim Konstitusi menilai permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum.
Dalam permohonannya, sejumlah likuidator yang tergabung dalam Perkumpulan Profesi Likuidator Indonesia (PPLI) tercatat sebagai Pemohon perkara Nomor 29/PUU-XVI/2018 tersebut. Pemohon mempermasalahkan ketiadaan persyaratan jelas terkait profesi likuidator. Hal ini menyebabkan ketidakpastian hukum dan ancaman kriminalisasi terhadap profesi Pemohon. Pemohon menyebut kerugian faktual yang dialami adalah banyak likuidator yang bukan Warga Negara Indonesia (likuidator asing) atau lembaga likuidator asing melakukan praktik likuidasi terhadap perseroan-perseroan berbadan hukum Indonesia atau perseroan-perseroan asing yang ada di Indonesia. Di sisi lain, kerugian potensial yang dapat dialami para likuidator adalah tidak adanya perlindungan hukum akibat ketidakjelasan definisi likuidator. Hal ini dinilai menyebabkan profesi likuidator mudah dikriminalisasi.
Wakil Ketua MK Aswanto saat membaca pertimbangan hukum MK menyebut argumentasi Pemohon yang berpendapat likuidator yang dilaksanakan oleh direksi tidak independen dan adanya benturan kepentingan (conflict of interest) adalah kekhawatiran yang berlebihan dan tidak berdasar. Ia menjelaskan dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya, likuidator yang dilakukan oleh direksi maupun likuidator yang diangkat oleh RUPS selalu diawasi dan dapat diberi nasihat oleh dewan komisaris.
“Mereka juga dapat sewaktu-waktu diberhentikan sementara apabila diduga telah lalai menjalankan tugas dan tanggung jawabnya. Mereka juga dapat diberhentikan secara tetap apabila alasan pemberhentian sementara oleh dewan komisaris diterima dalam RUPS,” tegasnya.
Terlebih, kata Aswanto, sanksi lainnya atas kelalaian yang dilakukan likuidator baik yang berasal dari direksi maupun likuidator yang diangkat oleh RUPS yang menimbulkan kerugian baik perseroan maupun pihak lain. Hal ini termasuk para kreditur yang diakibatkan oleh kelalaian likuidator tersebut dapat dituntut secara pribadi (personal liability) maupun secara tanggung renteng (jointly and severally liable).
“Mahkamah berpendapat dalil para Pemohon berkaitan dengan likuidator harus warganegara Indonesia dan direksi tidak dapat bertindak sebagai likuidator, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 142 ayat (3) UU 40/2007,adalah tidak beralasan menurut hukum,” tandasnya. (Arif Satriantoro/LA)