JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) tidak dapat menerima uji materiil Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti). Putusan Nomor 45/PUU-XVI/2018 dan 47/PUU-XVI/2018 ini dibacakan oleh Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi delapan hakim konstitusi lainnya pada Kamis (14/2/2019) siang.
Sebelumnya, Sabela Gayo yang merupakan Ketua Umum Asosiasi Pengacara Pengadaan Indonesia (APPI) selaku Pemohon meminta agar penyelenggaraan pendidikan profesi menjadi kewenangan absolut asosiasi profesi. Dalam permohonan Nomor 45/PUU-XVI/2018, ia menguji keberlakuan menguji Pasal 15, Pasal 20 ayat (3), Pasal 21 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6), Pasal 25 ayat (1), Pasal 67 ayat (1), dan Pasal 68 ayat (1) dan ayat (2) UU Sisdiknas. Sementara Perkara Nomor 47/PUU-XVI/2018, ia menguji sejumlah pasal dalam UU Dikti. Ia menilai aturan mengenai pendidikan profesi sebagaimana diatur di dalam UU a quo telah membatasi ruang gerak APPI. Hal ini dinilai karena aturan a quo telah merampas hak konstitusional APPI sebagai badan hukum perkumpulan/asosiasi profesi untuk mengembangkan diri melalui program-program pendidikan dan pelatihan pengacara pengadaan dalam rangka meningkatkan kualitas hidup anggotanya.
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna, Pemohon tidak jelas dalam mendalilkan kerugian hak konstitusionalnya. Di satu pihak, Pemohon menekankan kualifikasinya sebagai Ketua APPI, sementara di pihak lain terdapat pula argumentasi yang menekankan sebagai perorangan warga Indonesia yang berprofesi sebagai advokat. Palguna melanjutkan penegasan menjadi penting, sebab dalam pokok permohonannya, Pemohon ternyata menekankan pada uraian yang oleh Pemohon didalilkan sebagai kerugian hak konstitusional APPI. Akan tetapi, lanjutnya, pada bagian awal permohonannya Pemohon juga menjelaskan kualifikasinya sebagai perorangan warga negara Indonesia yang berprofesi sebagai advokat.
“Keadaan demikian telah menjadikan uraian Pemohon dalam menjelaskan kedudukan hukumnya menjadi kabur sehingga Mahkamah berpendapat Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo,” ujar Palguna.
Meskipun begitu, dalam pertimbangan hukum, Mahkamah tetap memeriksa pokok permohonan Pemohon. Terkait uji ketentuan pidana dalam Pasal 67 ayat (1), Pasal 68 ayat (1), dan Pasal 68 ayat (2) UU Sisdiknas yang dinilai merugikan hak konstitusional Pemohon, Mahkamah berpendapat bahwa norma UU Sisdiknas tersebut mengatur tentang ketentuan pidana bagi pelaku pelanggaran ketentuan-ketentuan tertentu dalam UU Sisdiknas. Dengan kata lain, lanjut Palguna, dicantumkannya ketentuan pidana tersebut untuk menjamin penaatan terhadap norma tertentu dalam UU Sisdiknas yang pelanggaran terhadapnya diancam dengan pidana dimaksud.
Palguna melanjutkan pencantuman ancaman sanksi pidana demikian penting untuk menjaga kewibawaan ilmu pengetahuan dan profesi tertentu. Tak hanya itu, pencantuman tersebut penting untuk melindungi masyarakat agar tidak menjadi korban dari penyelenggara pendidikan yang tidak berwenang yang pada titik tertentu justru melahirkan orang-orang yang tidak kapabel yang lebih mengedepankan pencantuman gelar tertentu.
“Apalagi kondisi sosial kemasyarakatan cenderung mudah tertipu oleh penggunaan gelar-gelar yang tidak semestinya. Oleh karena itu, untuk melindungi masyarakat pemerintah seharusnya menertibkan pencantuman dan penggunaan gelar-gelar yang tidak memenuhi ketentuan perundang-undangan,” urai Palguna.
Terkait dalil Pemohon mengenai Pasal 15 UU Sisdiknas yang menyatakan, “Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus”, Mahkamah menilai pasal tersebut sama sekali tidak berbicara tentang kewenangan, melainkan hanya mengatur tentang jenis pendidikan. “Bagaimana mungkin suatu norma undang-undang yang tidak mengatur tentang kewenangan dikatakan merugikan hak konstitusional seseorang atau suatu pihak. Oleh karena itu, dalil Pemohon a quo sama sekali tidak relevan sekaligus tidak koheren sehingga tidak beralasan menurut hukum,” ujar Palguna.
Sementara terkait pengujian Pasal 20 ayat (3) UU Sisdiknas yang menyatakan, “Perguruan tinggi dapat menyelenggarakan program akademik, profesi, dan/atau vokasi”, Mahkamah sama sekali tidak menemukan argumentasi letak pertentangan norma UU Sisdiknas dengan UUD 1945. Sebagai lembaga pendidikan, lanjut Palguna, justru aneh jika perguruan tinggi tidak memiliki kewenangan untuk menyelenggarakan pendidikan profesi, apalagi dikatakan bertentangan dengan UUD 1945.
“Tidak ada kaitan antara kewenangan perguruan tinggi untuk menyelenggarakan pendidikan profesi dengan aktivitas Pemohon untuk menyelenggarakan PKPP dan PAHKP. Norma a quo sama sekali tidak menghalangi Pemohon untuk melaksanakan aktivitas demikian sepanjang hal itu merupakan aktivitas yang sah menurut hukum positif yang berlaku di Indonesia. Dengan demikian, dalil Pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum,” tandasnya. (Lulu Anjarsari)