JAKARTA, HUMAS MKRI - Pengaturan sanksi bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) sebagaimana tercantum dalam Pasal 87 ayat (4) huruf b dan d serta Pasal 87 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) memberi kepastian dan perlindungan hukum bagi segenap ASN yang menjalankan tugasnya sesuai dengan regulasi yang ada. Selain itu, aturan tersebut juga menjamin perlakuan dan kesempatan yang sama bagi segenap ASN yang mematuhi regulasi yang ada. Hal ini disampaikan oleh Tri Hayati selaku Ahli yang dihadirkan Pemerintah dalam sidang uji UU ASN untuk perkara Nomor 87/PUU-XVI/2018, 88/PUU-XVI/2018, 91/PUU-XVI/2018 yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK) di Ruang Pleno MK pada Selasa (12/2/2019).
“Inilah aspek keadilan dari pengaturan norma Pasal 87 Undang-Undang ASN. Sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal 87 sejalan dengan teori keadilan korektif,” jelas Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman.
Tri Hayati menyatakan tidak sepakat jika sanksi administratif pada ASN yang melanggar pasal yang diujikan adalah penjatuhan hukuman dua kali. Sebab sanksi administrasi dan sanksi pidana adalah satu kesatuan. Menurutnya, pasal-pasal yang diujikan Pemohon merupakan sanksi administratif yang diberikan setelah adanya sanksi pidana yang telah diputuskan oleh pengadilan secara inkracht.
“Dengan demikian, tidak ada terjadi dua kali penghukuman, tapi itu merupakan satu kesatuan sanksi, yaitu sanksi pidana dan administratif. Yang dilarang tentunya adalah nebis in idem, yaitu jika satu kasus yang sama diadili dua kali dan tidak ada larangan untuk memberikan gabungan antara sanksi pidana dengan sanksi administratif atau sanksi perdata lainnya seperti denda,” jelasnya.
Selain itu, Tri Hayati menjelaskan Pasal 87 ayat (2) UU ASN yang memberikan ruang diskresi pada PPK untuk memberhentikan PNS atau tidak memberhentikan PNS bukan merupakan sebuah masalah. Sebab, lanjutnya, tindakan diskresi tetap dilakukan sesuai koridor aturan yang ada. “Tindakan diskresi mesti dilakukan sesuai pasal 24 sampai 29 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan,” ujarnya.
Sebelumnya, perkara yang teregistrasi dengan Nomor 87/PUU-XVI/2018 diajukan oleh Hendrik. Kemudian, lima Pemohon mengajukan perkara Nomor 88/PUU-XVI/2018, yaitu Fatah Yasin, Panca Setiadi, Nawawi, Nurlaila, dan Djoko Budiono. Para Pemohon mendalilkan dirugikan dengan berlakunya Pasal 87 ayat (2) dan Pasal 87 ayat (4) UU ASN yang mengatur tentang pemberhentian ASN. Pemohon yang pernah menjadi terpidana mendalilkan kata “dapat” dalam Pasal 87 ayat (2) UU ASN dapat menimbulkan pelaksanaan norma yang bersifat subjektif berdasarkan pelaksana undang-undang. Selanjutnya, menurut Pemohon, frasa “melakukan tindak pidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan pidana yang dilakukan dengan berencana” dalam Pasal 87 ayat (4) huruf d tidak memuat klasifikasi tindak pidana secara spesifik. Hal tersebut dinilai Pemohon menimbulkan ketidakjelasan dalam penerapan norma a quo. Pemohon menyimpulkan, bahwa seluruh norma yang Pemohon ujikan pada dasarnya telah bertentangan dengan “Asas Dapat Dilaksanakan”, “Asas Kejelasan Rumusan”, “Asas Keadilan”, “Asas Kesamaan Kedudukan dalam Hukum dan Pemerintahan”, dan “Asas Kepastian dan Kepastian Hukum.”
Sementara itu, Pemohon perkara Nomor 91/PUU-XVI/2018, merasa dirugikan dengan berlakunya Pasal 87 ayat (4) huruf b UU ASN yang dinilai mengandung ketidakpastian hukum karena menghalangi Pemohon untuk aktif, serta memperoleh kesempatan yang sama di dalam pemerintahan. Untuk itu, para Pemohon meminta kedua pasal a quo dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. (Arif Satriantoro/LA)