Dasar pemikiran MK mengadakan Bimbingan Teknis Hukum Acara Penyelesaian Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Tahun 2019 bagi Partai Berkarya adalah keinginan MK untuk menjadi peradilan modern yang memudahkan para pencari keadilan serta dapat dipercaya bagi para pencari keadilan agar dapat dipulihkan haknya. Hal ini disampaikan oleh Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Aswanto ketika menutup kegiatan bimtek pada Jum’at, (8/2/2019), di Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi, Bogor.
Dalam ceramah kuncinya Aswanto mengatakan, salah satu dari empat kewenangan yang dimiliki MK adalah menyelesaikan sengketa hasil pemilihan umum yang mencakup pemilihan umum legislatif dan pemilihan umum presiden, meski ada kewenangan tambahan menangani sengketa hasil pilkada, hingga terbentuknya lembaga peradilan khusus pilkada. Terkait Pemilu 2019, Aswanto menegaskan para peserta perlu menjaga agar rasa keadilan tidak diambil ketika pelaksanaan pemilu. “Tapi kalau merasa keadilan itu dirampas maka partai politik jangan main hakim sendiri, karena bisa mengajukan permohonan ke MK,” ujarnya.
Dalam mengajukan permohonan ke MK, Aswanto meminta agar para peserta menggunakan alat bukti yang sah, yaitu C1 berhologram. Ia mengingatkan agar jangan menggunakan catatan dari saksi di Tempat Pemungutan Suara (TPS) sebagai alat bukti di MK. Aswanto juga mengingatkan kepada pengurus DPP dan DPW Partai Berkarya yang hadir dalam kesempatan itu, untuk menyelesaikan secara internal partai jika ada perselisihan antar calon anggota legislatif (caleg) dari partai yang sama.
Selanjutnya, Aswanto juga mengingatkan agar pemohon memerhatikan tenggat waktu pengajuan permohonan, karena berdasar kebiasaan yang terjadi sebelumnya, banyak partai yang mengajukan permohonan pada hari terakhir pengajuan permohonan.
Pada hari kedua bimtek, Panitera Muda II Triyono Edy Budiarto memaparkan materi tentang penyelesaian perselisihan hasil pemilihan umum anggota DPR dan DPRD. Menurut Edy, pemilu diikuti oleh parpol peserta pemilu, sehingga yang dapat mengajukan permohonan hanya parpol peserta pemilu, dan yang menjadi objek permohonan adalah penetapan hasil perolehan suara secara nasional. Sementara calon anggota legislatif dapat mengajukan permohonan dengan syarat mendapat persetujuan dari DPP partai politik. “Yang menjadi termohon dalam sengketa hasil pemilu adalah KPU RI, sementara pihak terkait dalam sengketa hasil pemilu hampir mirip dengan KPU, yaitu mempertahankan hasil penghitungan suara,” paparnya di hadapan 160 peserta.
Dalam sengketa hasil pemilihan umum, Edy mengingatkan agar pemohon harus memperhatikan kelengkapan berkas permohonan, serta syarat-syarat lainnya dalam pengajuan permohonan, salah satunya tenggat waktu pengajuan permohonan. Menurutnya, jika ada syarat yang tidak dipenuhi oleh pemohon, maka permohonan dapat ditolak oleh MK. Persoalan perselisihan calon anggota legislatif dari partai yang sama, menurut Edy, hal tersebut memang menyulitkan dan selalu menjadi kendala bagi seluruh calon anggota legislatif dari semua partai karena MK tidak bisa ikut campur terhadap internal partai.
Seluk-Beluk MK
Sementara itu, Peneliti Senior MK Pan Mohamad Faiz menyampaikan materi “Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan RI”. Dalam pemaparannya Faiz menjelaskan ide pembentukan lembaga yang dapat menguji UU terhadap UUD sudah ada sejak tahun 1945, dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Ide tersebut dilontarkan oleh Mohamad Yamin tentang perlunya lembaga peradilan yang dapat membanding UU terhadap UUD, namun ide tersebut ditolak oleh Soepomo dengan alasan saat itu Indonesia belum memiliki banyak sarjana hukum dan tidak menganut pemisahan kekuasaan.
Menurut Faiz, Undang-Undang memang dibentuk oleh legislatif yang dipilih secara demokratis namun dapat dibatalkan oleh pengadilan. Hal itu, menurutnya, memunculkan banyak pertanyaan bagaimana mungkin produk yang dibentuk oleh anggota dewan dan presiden yang dipilih secara demokratis dapat dibatalkan oleh pengadilan. Ia menjelaskan, selain menganut negara demokrasi, Indonesia juga menganut nomokrasi, atau negara berdasar hukum untuk menyeimbangkan hak mayoritas dan minoritas warga negara. Dahulu, ungkapnya, MK dibatasi untuk menguji UU yang dibentuk setelah reformasi, namun ketentuan tersebut telah dinyatakan oleh MK bertentangan dengan Konstitusi.
Kewenangan lain yang dimiliki MK adalah memutus perselisihan hasil pemilihan umum. Pelaksanaan Pemilu saat ini, Faiz mengatakan, dilakukan berdasar putusan MK pada tahun 2014 yang menyatakan pemilu dilakukan secara serentak. Dahulu MK murni hanya memeriksa hasil penghitungan suara sehingga banyak yang mengatakan MK sebagai mahkamah kalkulator. Namun, ujarnya, pemilihan kepala daerah Jawa Timur menjadi tonggak yurisprudensi MK, karena dalam perkara ini MK menyatakan dapat memeriksa proses dalam pemilihan umum. Ia menambahkan, persoalan pilkada lainnya yang sering muncul saat ini adalah masalah administrasi kependudukan. “Hal ini terjadi dalam pilkada maluku tengah, dimana sekelompok penduduk yang merupakan warga daerah A namun justru tercatat dalam administrasi kependudukan daerah B yang merupakan daerah pemekaran,” terangnya pada Kamis (7/2/2019).
Selain kewenangan tersebut, MK juga memiliki kewajiban untuk memutus pendapat DPR yang menyatakan Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melanggar hukum dan konstitusi. Faiz menjelaskan, sebelumnya Presiden dimakzulkan berdasar keputusan politik, tanpa ada pendapat hukum dari pengadilan. Saat ini, pemakzulan presiden dan/atau wakil presiden itu harus disetujui oleh 2/3 anggota Dewan Perwakilan Rakyat sebelum diajukan ke MK. Jika permohonan DPR itu dikabulkan oleh MK, maka putusan itu dibawa ke Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk dibahas dan diputus. “Kewenangan ini sedikit berbeda dengan MK Korea dimana Presiden langsung dinyatakan berhenti begitu ada putusan dari MK,” ucapnya.
MK merupakan penafsir akhir konstitusi, menurut Faiz, maksud dari penafsir akhir adalah siapa pun bisa menafsirkan konstitusi, namun ketika MK sudah memutus, maka putusannya mengikat seluruh warga negara. Walau permohonan pengujian UU hanya diajukan oleh satu orang saja, namun ketika MK sudah memutus maka putusan tersebut juga berlaku bagi seluruh warga negara Indonesia.
Terakhir, Faiz mengungkapkan, konstitusi Indonesia merupakan satu-satunya konstitusi di dunia yang memberikan masyarakat adat kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian UU. Ia juga mengingatkan, putusan MK harus dipahami secara utuh dan teliti, sebab banyak pemberitaan di media yang salah dalam melihat putusan MK, seperti putusan MK mengenai zina yang dikatakan sebagai legalisasi LGBT. Padahal MK dalam putusannya, jelasnya, sama sekali tidak menyinggung mengenai LGBT. “Demikian pula dalam putusan lain yang salah diberitakan adalah mengenai orang dengan gangguan kejiwaan dapat memilih. Bukan berarti semua orang gila dapat memilih, melainkan hanya orang dengan gangguan kejiwaan dalam tingkat yang tidak parah yang dapat memberikan hak pilih,” jelasnya.
Selain teori-teori, para peserta juga melakukan penyusunan permohonan serta tanggapan pihak terkait dalam sengketa hasil pemilihan umum, serta praktik pengisian permohonan perkara secara online. (Ilham/LA)