Sejumlah Peneliti Mahkamah Konstitusi (MK) serta staf Unit Kerja Bagian Sekretariat Tetap AACC dan Kerja Sama Luar Negeri melakukan Focus Group Discussion (FGD) dengan Csaba Cservák yang merupakan pakar hukum konstitusi dari Károli Gáspár University of the Reformed Church Hongaria terkait kewenangan MK Hongaria dan perkembangan hukum di Hongaria. Selain diikuti oleh sejumlah peneliti, FGD yang digelar pada Kamis (7/2/2019) tersebut dihadiri oleh peserta magang dari Australian National University, Monash University, University of Sunshine Coast, dan Macquarie University.
Dalam kesempatan tersebut, Csaba memaparkan mengenai MK Hongaria beserta kewenangannya. Ia menyebut Hongaria telah mengubah konstitusi baru yang dikenal sebagai Fundamental Law (Undang-Undang Dasar) yang mulai berlaku pada 1 Januari 2012. Perubahan signifikan tersebut mempengaruhi MK Hongaria. MK Hongaria, lanjutnya, merupakan lembaga peradilan untuk melindungi Undang-Undang Dasar tersebut.
Selain itu, Csaba juga memparkan mengenai kewenangan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar; inisiatif yudisial untuk pengendalian norma dalam kasus-kasus nyata; menangani konflik perjanjian internasional; pemakzulan presiden; pembubaran DPRD yang bekerja bertentangan dengan Undang-Undang Dasar; serta memberikan pendapat tentang penarikan pengakuan terhadap gereja yang beroperasi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. “Namun untuk kasus yang terakhir, MK Hongaria belum menangani kasus seperti itu,” ujarnya.
Csaba mengemukakan perbedaan antara MK Hongaria dengan MKRI, di antaranya penanganan constitutional complaint serta pengujian peraturan daerah. Di Indonesia, pengujian perda merupakan ranah kewenangan Mahkamah Agung berbeda dengan di Hongaria. Hal ini menimbulkan pertanyaan bagi Csaba yang menanyakan adakah konflik kewenangan antara MK dengan MA di Indonesia.
Menanggapi pertanyaan tersebut, Peneliti Senior MK Pan Mohamad Faiz menjawab secara kewenangan MK tidak memiliki konflik dengan MA. “Hanya terkait penafsiran pasal saja ada perbedaan,” jawabnya.
Csaba pun menjelaskan ada konflik antara MA dan MK di Hongaria. Semisal, kasus foto-foto aparat kepolisian yang menyebar di media massa pada saat terjadi demonstrasi besar-besaran di Hongaria beberapa waktu lalu. MK menguji kasus tersebut dan memutuskan hal yang berbeda dengan putusan MA. “Sejak 2012, memang ada beberapa konflik antara MA dan MK mengenai putusan siapa yang harus diterapkan. Hal ini terjadi sejak perubahan Undang-Undang Dasar baru,” jelasnya.
Kemudian, Csaba menyampaikan adanya perbedaan jumlah hakim konstitusi antara MK Hongaria dengan MKRI. Di MK Hongaria, hakim konstitusi berjumlah 15 orang. Perubahan jumlah ini terjadi sejak 2012 yang semula berjumlah 11 orang menjadi 15 orang. Ia mengungkapkan bahwa 15 orang hakim konstitusi tersebut dipilih oleh Parlemen dengan mayoritas yang memenuhi syarat (suara 2/3 dari semua perwakilan) untuk masa jabatan selama 12 tahun. Keterpilihan hakim konstitusi dari parlemen, lanjut Csaba, tidak mempengaruhi independensi. “Ketua MK Hongaria juga dipilih oleh Parlemen dan para hakim memilih wakil presiden di antara mereka sendiri,” tandasnya. (Lulu Anjarsari)