Senin, 7 April 2008
JAKARTA (Suara Karya): Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) tidak boleh dibubarkan, karena pembentukannya merupakan amanat Mahkamah Konstitusi (MK). Oleh karena itu anggota DPR yang menyuarakan hal itu sebaiknya tidak dipilih lagi pada Pemilu 2009, sebab anti-pemberantasan-korupsi.
Demikian rangkuman pendapat dari mantan Ketua Tim Perumus RUU Pengadilan Tipikor dari pemerintah, Romli Atmasasmita dan Koordinator Divisi Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW, Emerson Yuntho, yang dihubungi Suara Karya secara terpisah, kemarin.
Romli dan Emerson sama-sama menegaskan bahwa pembentukan Pengadilan Tipikor adalah amanat Mahkamah Konstitusi (MK). "Pembentukan Pengadilan Tipikor adalah amanat MK, bukan semata-mata jenis pidananya masuk dalam kategori extra-ordinary crime," kata Romli.
Sebelumnya ada wacana di DPR bahwa kasus-kasus korupsi sebaiknya ditangani pengadilan umum. Sebab, korupsi adalah sebuah tindak pidana yang selama ini disidangkan di pengadilan umum.
Menurut Romli, wacana tersebut mencerminkan DPR tidak mengikuti perkembangan penyusunan RUU Pengadilan Tipikor selama ini.
"Pengalihan pengadilan kasus korupsi ke pengadilan umum dulu kan diwacanakan tim perumus pemerintah melalui Pak Andi Hamzah. Kini wacananya sudah kembali lagi ke pengadilan Tipikor. Jadi, DPR ketinggalan perkembangan," kata Romli.
Menurut Romli, RUU Pengadilan Tipikor saat ini sudah berada di tangan presiden. Tinggal dilimpahkan ke DPR.
Karena itu, Romli mengharapkan pemerintah benar-benar konsisten dengan RUU tersebut. "Supaya kita tahu siapa yang tidak berkomitmen terhadap pemberantasan korupsi," kata Romli.
Sempitnya waktu pembahasan yang dikeluhkan DPR terhadap RUU Pengadilan Tipikor, menurut Romli, merupakan alasan yang mengada-ada. "Pasal RUU Pengadilan Tipikor kan hanya sekitar 40-an halaman. Menurut saya hanya sekitar satu tahun saja. Maka, dengan alasan itu, DPR berarti tidak memiliki komitmen dalam pemberantasan korupsi," kata Guru Besar Ilmu Hukum Pidana Interna-sional Universitas Padjadjaran tersebut.
Romli pun mengingatkan bahwa Indonesia sudah meratifikasi United Nation Convention Against Corruption (UNCAC) serta amanat MK yang menetapkan yurisdiksi tunggal bagi Pengadilan Tipikor untuk menghindari ketidakpastian hukum pada perkara korupsi. Untuk itu, Romli tetap akan memperjuangkan pembentukan Pengadilan Tipikor.
"Kalau Pengadilan Tipikor benar-benar diganjal pembentukannya oleh DPR, saya akan mengusulkan pembentukan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) sebagai landasan hukumnya," kata dia.
Selain itu, terlalu mahal biaya, jika Pengadilan Tipikor dibubarkan. "Sebab, semua tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus dibebaskan, sebab Pengadilan Tipikor kan menerima kasus dari KPK. Semua penanganan perkara di komisi itu akan berhenti. Jadi mahal biayanya," kata Romli.
Untuk itu, dia menganjurkan agar jika ada anggota DPR yang menyuarakan pembubaran Pengadilan Tipikor untuk tidak dipilih lagi pada Pemilu 2009. Hal tersebut disetujui Emerson.
Wacana tersebut menurut Emerson merupakan kontradiksi putusan MK yang harus dilaksanakan. "Untuk itu, harus ada desakan yang kuat dari masyarakat agar Pengadilan Tipikor tetap berdiri," kata Emerson.
Mereka yang mendukung wacana tersebut, menurut Emerson, layak menyandang politisi antipemberantasan korupsi.
Sebelumnya, putusan MK memutuskan mengenai Pasal 53 UU KPK yang menjadi landasan hukum Pengadilan Tipikor bertentangan dengan UUD 1945 dan menyatakan pasal tersebut mempunyai kekuatan hukum mengikat sampai diadakan perubahan paling lambat tiga tahun terhitung sejak putusan diucapkan. (Nefan Kristiono)
sumber: www.suarakarya-online.com
foto: www.baladika.info