Senin, 07/04/2008
MAHKAMAH Konstitusi (MK) telah mengabulkan calon perseorangan untuk maju di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).Keputusan yang telah dikeluarkan pada 23 Juli 2007 itu membawa babak baru dalam kehidupan demokrasi kita.
Dengan adanya landasan hukum tentang calon perorangan, maka terbuka kesempatan bagi para calon kandidat yang tidak memiliki kendaraan politik (partai) untuk dapat ikut serta dalam pagelaran pesta demokrasi didaerah. Kondisi ini pula yang membuat pemerintah didesak untuk segera merevisi Undang-Undang Otonomi Daerah No 32 tahun 2004.
Namun, keputusan MK ini, melahirkan polemik yang rawan mengguncang keamanan dan ketertiban di daerah.Bahkan di beberapa daerah,muncul gagasan untuk segera menetapkan aturan itu dalam Pilkadanya, mereka berharap Pilkada di daerahnya tersebut dapat ditunda penyelenggaraannya. Seperti di Bali,yang akan menyelenggarakan Pilkada pada 9 Juli mendatang, serta Kota Bandung yang akan menyelenggarakan Pilkada pada akhir September 2008.
Pencalonan perseorangan memang menjadi hak demokrasi setiap warga negara, apalagi dengan jatuhnya putusan Mahkamah Konstitusi.Sikap yang dimunculkan oleh rakyat pun merupakan sebuah indikasi kemenangan aspirasi yang berorientasi kepada rakyat.Sebab, partai politik saat ini, dirasa lebih mengedepankan jejaring oligarki yang kian pragmatis.
Contoh nyata adanya praktik oligarki partai ini dapat dilihat dari kurang responsifnya partai terhadap penderitaan rakyat.Selain itu,partai juga hanya berorientasi pada kekuasaan. Karena itulah, tidak aneh jika akhir-akhir ini kita menjumpai adanya koalisi semu (tidak permanen) antarpartai dengan latar belakang ideologi yang seratus persen berbeda. Seharusnya pengajuan calon perseorangan dipandang dengan lebih proporsional.
Dalam hal ini,ambisi politik perseorangan jangan dimunculkan sebagai semangat aji mumpung, sebab dalam kacamata hukum,putusan MK itu memerlukan aturan yang komprehensif sampai pada tingkatan teknis di lapangan.Tentu saja untuk membentuk aturan ini kita membutuhkan pemikiran,waktu, dan kerja keras agar aturan yang akan dihasilkan tidak bongkar pasang dan mubazir.Kedewasaan berdemokrasi tidak serta-merta kita raih.
Semuanya membutuhkan proses yang mendalam agar tidak ada lagi kelemahan, atau pun jika ada kelemahan, porsinya tidak sampai menimbulkan polemik yang dapat memicu disintegrasi.Sebut saja kasus Pilkada Maluku Utara yang sampai detik ini masih belum menemui titik terang.
Ini pula yang kita sayangkan dalam orde reformasi ini. Banyak aturan sekaligus kebijakan yang temporer,kemarin dihujat sekarang dipakai,sekarang dipakai besok dihujat. Bagi kita,tentu saja kejadian ini sangat ironis,salah satunya adalah konsep Pilkada sendiri. Reformasi menghendaki adanya otonomi luas sekaligus Pemilihan Kepala Daerah secara langsung.
Namun,otonomi justru menghasilkan Pemerintahan Daerah yang tidak prorakyat.Fakta membuktikan bahwa hanya 5 persen dari Perda (Peraturan Daerah) di republik ini yang prorakyat miskin, selebihnya (85 persen) diperuntukkan guna menggenjot Pendapatan Asli Daerah (PAD),dan sisanya (10 persen) digunakan untuk memutihkan aset daerah (Laporan Dephukham, 2008).
Pandangan lain disampaikan dalam pertemuan gubernur se-Indonesia yang difasilitasi Lemhanas beberapa waktu lalu. Dalam pertemuan itu, lahir gagasan bahwa sebaiknya Gubernur ditunjuk langsung Presiden (asas dekonsentrasi). Pendapat lain dikemukakan Ketua PBNU Hasyim Muzadi yang menyatakan bahwa sebaiknya Pilkada ditiadakan saja,karena rentan dengan konflik dan sangat memboroskan anggaran.
Menurut dia, dana Pilkada itu dapat digunakan untuk membantu meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dalam memandang pencalonan perseorangan ini, segenap elemen bangsa harus memiliki satu frameyang sama.Dan yang terpenting,persamaan pandangan ini juga harus dimiliki partai politik.
Jangan sampai tujuan untuk membuka partisipasi seluas-luasnya dalam menghasilkan pemimpin daerah yang berkualitas,justru masih kuat digenggam âhak prerogatifâ(otoriterisme) partai. Di sisi lain, kita pun harus lebih arif dalam memaknai putusan MK,karena terlalu cepat dalam menghasilkan kebijakan yang maksudnya baik,hal itu malah berpotensi memecah belah rakyat dalam lingkaran konflik.
Kiranya, optimisme dalam memandang lahirnya calon perseorangan yang diharapkan lebih dapat membawa perbaikan bagi daerah,harus semakin rasional. Akhirnya, kita perlu memperhatikan apa yang telah diungkapkan Prof Jimly Assiddiqie, ketika dilantik menjadi Hakim Konstitusi pada 2002.
Beliau menyatakan bahwa : âKonstitusi adalah simbol the rule of law, the rule of constitution.Suka atau tidak suka bukan soal.Anda silakan berdebat untuk memperjuangkan aspirasi, tetapi ketika sudah diputuskan,hal itu menjadi pegangan dasar,dan itu mengikat kita.(*)
Arief Hidayat
Mahasiswa Ilmu Pemerintahan FISIP UNPAD
sumber: www.seputar-indonesia.com
foto: mycityblogging.com/makassar/page/5/