Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana pengujian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) dan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (UU RS) pada Rabu (30/1/2019). Pemohon mempermasalahkan perbedaan penafsiran status badan layanan umum daerah terkait dengan kepengurusan rumah sakit Pemerintah atau Pemerintah Daerah.
Rachmadi Sularsono yang berprofesi sebagai PNS tercatat sebagai Pemohon Perkara Nomor 12/PUU-XVII/2019 tersebut. Pemohon menguji Pasal 209 ayat (1) dan ayat (2) beserta lampirannya UU Pemda serta Pasal 7 ayat (3) UU RS. Saat ini, status kepegawaian Pemohon adalah purna PNS tidak atas permintaan sendiri. Ia merasa hak konstitusionalnya dirugikan karena tidak mendapatkan perlindungan hukum atas terjadinya multitafsir terhadap pemberlakuan UU a quo.
“Status kepegawaian saya sedang dalam proses hukum di tingkat PTUN dengan pokok perkara pemberian hukuman disiplin kategori ringan. Namun, pada tingkat kasasi dijatuhi hukuman disiplin berat dengan jenis pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri,” jelasnya melalui video conference.
Pemohon kemudian melakukan upaya hukum berupa banding administratif, namun belum ada putusan. Pemohon mendalilkan kerugian konstitusionalnya muncul karena terdapat pertentangan antara Pasal 209 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemda dan Pasal 7 ayat (3) UU RS. “Dalam Pasal 209 ayat (1) dan ayat (2) UU 23/2014 tidak mencantumkan penjelasan terkait instansi yang bertugas di bidang kesehatan, instansi tertentu atau Lembaga Teknis Daerah pada struktur organisasi perangkat daerah. Pun demikian halnya, pada Lampiran tidak menerangkan pula tugas dan fungsi Rumah Sakit yang dikelola Pemerintah atau Pemerintah Daerah,” tegasnya dalam Perkara Nomor 12/PUU – XVII/2019.
Sesuai ketentuan UU RS, rumah sakit yang didirikan Pemerintah atau Pemerintah Daerah dapat berbentuk Unit Pelaksana Teknis Dinas Kesehatan apabila klasifikasi rumah sakitnya adalah tipe C dan D. Adapun Lembaga Teknis daerah yang harus melakukan pola pengelolaan keuangannya adalah Badan Layanan Umum Daerah (BLUD)dan merupakan Lembaga Teknis Daerah atau Instansi Tertentu pada bidang kesehatan.
Pemohon menjelaskan lebih lanjut, ada dua tipe Badan Layanan Umum Daerah, yaitu Unit Pelaksana Teknis BLUD dipimpin oleh Kepala Dinas Kesehatan dan BLUD dipimpin oleh Direktur Rumah Sakit. Kepala Puskesmas atau Kepala Rumah Sakit sebagai Unit Pelaksana Teknis memiliki garis komando pada Kepala Dinas Kesehatan yang bertanggung jawab pada Kepala Daerah melalui Sekretaris Daerah. Rumah Sakit yang berbentuk Lembaga Teknis Daerah atau Instansi Tertentu bila BLUD, maka direktur RSUD bertanggung jawab pada Kepala Daerah melalui Sekretaris Daerah.
Untuk itulah, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Mahkamah Pasal 209 ayat (1) dan ayat (2) beserta lampirannya UU Pemda serta Pasal 7 ayat (3) UU RS bertentangan dengan UUD 45 Pasal 28D ayat (1) dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Kedudukan Hukum
Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna mempermasalahkan kedudukan hukum Pemohon yang dinilainya belum jelas. “Jika ini tidak jelas, MK tidak akan memeriksa Pokok Permohonan,” ujarnya.
Bagian ini, kata Palguna, Pemohon mesti menguraikan kerugian konstitusional yang dideritanya karena adanya pasal ini. Sifatnya mesti jelas dan spesifik, misal ditunjukkan hubungan kausalitas antara kerugian Pemohon dengan berlakunya pasal yang diujikan. Begitupula mengenai uraian permohonan yang dinilainya belum menguraikan alasan-alasan MK untuk mengabulkan permohonan Pemohon. “Setelah hal ini selesai, Pemohon bisa masuk ke sisi alasan Pokok Permohonan. Di bagian ini, Pemohon mesti membuktikan mengapa UU ini dianggap bertentangan dengan Konstitusi,” tegasnya.
Senada dengan Palguna, Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul juga mengkritisi masalah kedudukan hukum. Dirinya belum melihat jelas kerugian konstitusional Pemohon dengan adanya pasal yang diujikan. “Penglihatan saya belum jelas norma mana yang mau diuji. Ini perlu perbaikan mendasar,” tegasnya. Dia menyebut justru Pemohon sebatas menjelaskan kasus konkret yang dialami dirinya.
Begitu juga, kata Manahan, untuk masalah penulisan masih banyak kesalahan yang dilakukan, seperti urutan penulisan adalah pasal kemudian baru ayat. “Ini perlu banyak penyempurnaan. Saya sarankan bapak meminta masukan dari ahli hukum yang sudah sering beracara di MK. Misal bisa juga meminta lembaga bantuan hukum di Universitas Brawijaya tempat bapak tinggal,” jelasnya. (Arif Satriantoro/LA)