Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan yang dimohonkan oleh Tafsir Nurchamid yang berprofesi sebagai dosen dan merupakan warga binaan Sukamiskin Bandung. Putusan Nomor 90/PUU-XVI/2018 dibacakan dalam sidang pengucapan putusan uji Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Permasyarakatan (UU Permasyarakatan) dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (UU PSK) pada Rabu (30/1/2019) di Ruang Sidang Pleno MK.
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan Hakim Konstitusi Arief Hidayat, Mahkamah menilai bahwa berdasarkan pokok permohonan Pemohon mengenai konstitusional Pasal 14 ayat (1) huruf i dan huruf k UU Permasyarakatan menimbulkan perlakuan diskriminatif terhadap terpidana, Mahkamah berpendapat sesuai dengan Putusan Nomor 54/PUU-XV/2017 bertanggal 7 November 2017 serta Putusan Nomor 82/PUU-XV/2017 bertanggal 31 Januari 2018 menyatakan permohonan berkaitan dengan pasal a quo ditolak. Dalam pertimbangan hukum pada putusan tersebut menyebut bahwa remisi bukanlah hak yang tergolong dalam kategori hak asasi manusia dan bukan tergolong hak konstitusional. Sehingga dapat dilakukan terhadapnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Jadi, lanjut Arief, pembatasan dan persyaratan yang harus dipenuhi seseorang narapidana untuk memperoleh pembebasan bersyarat dan memperoleh remisi tidak melanggar hak narapidana. Namun dalam hal ini, perlu dipertegas akan adanya penilaian atas syarat-syarat untuk memperoleh remisi dan pembebasan bersyarat dimulai sejak narapidana yang bersagkutan memperoleh status narapidana dan menjalani masa pidananya. Atas pertimbangan tersebut, Mahkamah menolak permohonan pengujian UU a quo.
“Maka, Mahkamah tidak menemukan adanya alasan konstitusional yang baru termasuk dalam permohonan a quo sehingga mutatis mutandis berlaku pula sebagai pertimbangan hukum terhadap permohonan a quo. Oleh karena itu, permohonan a quo tidak beralasan menurut hukum,” terang Arief di hadapan sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman yang juga didampingi hakim konstitusi lainnya.
Persoalan Konkret
Adapun berkaitan dengan Pasal 1 angka 2 serta Pasal 10A ayat (3) huruf b UU PSK yang dinilai Pemohon multitafsir dan menimbulkan perlakuan diskriminatif terhadap terpidana, Hakim konstitusi I Dewa Gede Palguna menyampaikan bahwa perlu Mahkamah menjelaskan substansi dari Saksi Pelaku dan mekanisme serta pengaturannya. Sebagaimana warga binaan lainnya, tambah Palguna, pada dasarnya memiliki hak untuk mengajukan remisi dan pembebasan bersyarat sebagaimana diatur UU PSK tersebut. Namun dalam perkara a quo terdapat fakta bahwa dalam proses pengajuan hak tersebut Pemohon mengalami kendala, maka Mahkamah melihat hal tersebut bukanlah dikarenakan inkonstitusionalnya norma a quo, melainkan persoalan konkret yang dialami Pemohon. Apabila dicermati, Pemohon lebih mengedepankan uraian terkait aspek prosedural proses pengajuan sebagai justice collaborator daripada menjelaskan aspek pertentangan konstitusionalitas norma a quo terhadap pasal-pasal UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian oleh Pemohon. “Dengan berdasarkan pertimbangan hukum, dalil Pemohon yang menyatakan Pasal 1 angka 2 dan Pasal 10A ayat (3) huruf b UU PSK bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), dan Pasal 28I ayat (2( UUD 1945 tidak beralasan menurut hukum,” ucap Palguna. (Sri Pujianti/LA)