Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan untuk seluruhnya terhadap uji materiil Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) pada sidang putusan yang digelar pada Rabu (30/1/2019) di Ruang Sidang Pleno MK. “Amar putusan, mengadili, menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” ucap Ketua MK Anwar Usman terhadap perkara yang teregistrasi Nomor 23/PUU-XVI/2018 ini.
Sebelumnya, Toyota Soluna Community (TSC) dan Irvan yang berprofesi supir transportasi online menyampaikan merasa dirugikan hak konstitusionalnya dengan berlakunya Pasal 106 ayat (1) dan Pasal 283 UU LLAJ. Pemohon menilai ketentuan tersebut bertentangan secara bersyarat terhadap UUD 1945, terutama Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1). Pemohon berpendapat frasa “menggunakan telepon“ pada pasal a quo sebagai salah satu sebab terganggunya konsentrasi pengemudi kendaraan bermotor haruslah memiliki maksud yang jelas. Sehingga, tidak terjadi multitafsir dalam pemberlakuannya.
Dalam pertimbagan hukum, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menyebutkan bahwa Mahkamah memahami maksud dari Penjelasan Umum UU LLAJ, yang pada intinya untuk menekan angka kecelakaan lalu lintas yang semakin tinggi. Tujuannya tidak lain demi menciptakan dan memberikan jaminan ketertiban serta keselamatan berlalu lintas. Menurut Mahkamah, lanjut Wahiduddin, UU LLAJ adalah sarana untuk rekayasa masyarakat menuju kehidupan yang lebih baik. Sebab, wajah dan budaya hukum suatu negara tercermin dari perilaku masyarakatnya dalam berlalu lintas. Menggunakan telepon, tambahnya, hanya merupakan salah satu penyebab yang dapat memengaruhi kemampuan pengemudi dalam mengemudikan kendaraan secara penuh konsentrasi. Jika merujuk pada KBBI kata ‘menggunakan’ diartikan memakai dan bersifat aktif. Dengan demikian, rumusan norma a quo telah cukup jelas.
“Pembentuk undang-undang hanya merumuskan secara umum penjelasan terkait penyebab yang dapat memengaruhi kemampuan pengendara dalam mengemudi kendaraan secara penuh konsentrasi agar pelaksanaan norma Pasal a quo tidak mudah tertinggal, tetapi mampu menjangkau kebutuhan hukum dalam jangka waktu yang panjang, termasuk mengantisaipasi adanya perkembangan teknologi,” jelas Wahiduddin.
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih melanjutkan bahwa seiring dengan perkembangan teknologi kendaraan bermotor Mahkamah memahami jika telah banyak kendaraan bermotor yang diproduksi sekaligus dilengkapi dengan teknologi peta jalan ditambah dengan fitur GPS untuk membantu pengemudi mencapai lokasi tujuan. Namun demikian, Mahkamah berpendapat menggunakan telepon seluler yang di dalamnya terdapat berbagai fitur dalam batas penalaran wajar termasuk dalam hal mengganggu konsentrasi berlalu lintas yang berdampak pada kecelakaan lalu lintas. Walaupun tidak setiap pengendara yang menggunakan GPS serta-merta dapat dinilai mengganggu konsentrasi mengemudi yang membahayakan pengguna, sehingga penerapannya harus dilihat secara kasuistis.
“Oleh karena itu, tidak ada persoalan inkonstitusionalitas terkait penjelasan pasal 106 ayat (1) UU 22/2009. Dengan demikian, dalil para Pemohon tidak beralasan menurut hukum,” ucap Enny.
Pemahaman Utuh
Adapun dail Pemohon yang menyatakan Pasal 283 UU LLAJ multitafsir, Mahkamah berpendapat norma a quo merupakan bagian dari Bab XX Ketentuan Pidana UU LLAJ. Pembentuk UU telah memberikan panduan teknik berkaitan dengan rumusan ketentuan pidana dalam suatu pembentukan peraturan perundang-undangan. Untuk memahami norma tersebut, tegas Enny, tidak dapat dilepaskan dari pemahaman yang utuh terhadap norma yang terdapat dalam Pasal 106 ayat (1). Berdasarkan uraian tersebut, Mahkamah berpendapat dalil para Pemohon berkenaan dengan frasa “melakukan kegiatan lain atau dipengaruhi oleh suatu keadaan yang mengakibatkan gangguan konsentrasi dalam mengemudi di jalan” yang terdapat dalam Pasal 283 UU 22/2009 bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “dikecualikan untuk penggunaan aplikasi sistem navigasi yang berbasis satelit yang terdpat dalam telepon seluler adalah tidak beralasan menurut hukum”. (Sri Pujianti/LA)