Mahkamah Konstitusi (MK) tidak dapat menerima permohonan uji materiil aturan mengenai amar putusan MK dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK). Mahkamah menilai Muhammad Hafidz yang pernah mengajukan diri sebagai calon DPD dalam Pemilu 2014 tersebut, tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing).
Dalam permohonannya, Hafidz mendalilkan adanya ketidakpastian hukum dari substansi Pasal 57 ayat (1) UU MK yang terjadi akibat maksud di dalamnya hanya ditujukan pada muatan materi ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang yang oleh MK dalam putusannya telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Selain itu, Pemohon mengakui sebelumnya pernah mengajukan perihal cita-cita pembentukan DPD sebagai representatif daerah dan bukan perwakilan partai politik. Dalam hal ini, dirinya telah mendapatkan kepastian hukum melalui Putusan MK Nomor 30/PUU-XVI/2018 pada tanggal 23 Juli 2018 yang menyatakan frasa pekerjaan lain harus dimaknai mencakup pula pengurus partai politik. Terhadap putusan tersebut KPU menerbitkan Peraturan KPU Nomor 26 Tahun 2018 yang menegaskan syarat pengunduran diri bagi bakal calon anggota DPD dari kepengurusan partai politik. Kemudian, terdapat bakal calon anggota DPD yang keberatan dan mengajukan permohonan pengujian ke MA dalam Perkara Nomor 65 Tahun 2018. Setelah MA menerbitkan putusan, kemudian disusul pula oleh Putusan Pengadilan Tata Usaha Negeri Jakarta. Menurut Pemohon, kedua putusan tersebut seolah-olah mengingkari putusan MK yang telah terlebih dahulu memberikan syarat keharusan mengundurkan diri bagi bakal calon anggota DPD yang berasal dari pengurus parpol.
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna, Mahkamah berpendapat tidak terdapat kemungkinan bagi hadirnya penafsiran berbeda apalagi hingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan terhadap Pasal 57 ayat (1) UU MK, sebagaimana didalilkan Pemohon. Sebab, lanjut Palguna, dengan rumusan norma di atas telah jelas dan tegas bahwa materi muatan suatu ayat, pasal, dan/atau bagian tertentu dari suatu undang-undang yang oleh Mahkamah telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, maka materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian tersebut telah kehilangan kekuatan mengikatnya sebagai norma hukum.
“Hilangnya kekuatan hukum mengikat materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian suatu undang-undang yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 adalah konsekuensi logis dari pertentangan materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang itu dengan UUD 1945,” tegas Palguna membacakan pertimbangan hukum Putusan Nomor 98/PUU-XVI/2018 tersebut.
Pembangkangan Terhadap Konstitusi
Palguna pun menuturkan pendapat Mahkamah terkait adanya ancaman pidana yang dikenakan pada suatu pihak (dalam hal ini KPU) yang hendak melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018 karena adanya beberapa putusan Mahkamah Agung yang bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang hendak dilaksanakan oleh KPU tersebut. Mahkamah menilai ketidakpastian hukum yang timbul bukanlah diakibatkan ketidakjelasan rumusan Pasal 57 ayat (1) UU MK, melainkan semata-mata persoalan implementasi putusan Mahkamah Konstitusi.
Selain itu, Palguna memaparkan Mahkamah wajib menegaskan kembali bahwa sekalipun putusan Mahkamah Konstitusi bersifat deklaratif, hal itu bukanlah menandakan kelemahan daya ikat putusan Mahkamah Konstitusi. Sebaliknya, tegasnya, justru di situ letak kekuatan putusan MK. Ia menekankan bahwa jika Mahkamah telah mendeklarasikan suatu undang-undang atau suatu pasal, ayat, dan/atau bagian dari suatu undang-undang bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka tindakan yang mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi bukan hanya merupakan tindakan ilegal, namun juga inkonstitusional.
“Tindakan yang mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi demikian, dalam pengertian tetap menggunakan suatu undang-undang atau suatu pasal, ayat, dan/atau bagian dari suatu undang-undang yang oleh Mahkamah telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat seolah-olah sebagai undang-undang yang sah, membawa konsekuensi bukan hanya ilegalnya tindakan itu, melainkan pada saat yang sama juga bertentangan dengan UUD 1945. Dengan demikian, dalam hal suatu lembaga atau masyarakat tidak menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi, hal demikian merupakan bentuk nyata dari pembangkangan terhadap konstitusi,” tegas Palguna.
Berlaku Selesai Diucapkan
Dalam putusan tersebut, Mahkamah pun menegaskan kedudukannya sebagai negative legislator. Palguna menjelaskan sejalan dengan prinsip supremasi pengadilan dalam menegakkan prinsip supremasi konstitusi, maka putusan Mahkamah Konstitusi memiliki kedudukan sederajat dengan undang-undang. Jika undang-undang yang dibuat oleh pembentuk undang-undang (positive legislator) memperoleh kekuatan hukum mengikat setelah diundangkan, maka putusan Mahkamah Konstitusi (negative legislator) mendapatkan kekuatan hukum mengikatnya atau memperoleh kekuatan hukum tetapnya sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 47 UU MK.
“Jadi, sebagaimana halnya suatu undang-undang yang segera mengikat seluruh warga negara, termasuk lembaga-lembaga negara atau Pemerintah, maka suatu putusan Mahkamah Konstitusi pun segera mengikat seluruh warga negara, termasuk lembaga-lembaga negara atau pemerintah, begitu selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum,” papar Palguna. (Lulu Anjarsari)