Aturan mengenai sanksi bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) sebagaimana tercantum dalam Pasal 87 ayat (4) huruf b dan d serta Pasal 87 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) menimbulkan ketidakpastian hukum. Hal tersebut karena adanya pilihan penjatuhan sanksi yang dapat memicu penilaian subjektif dan berefek menimbulkan ketidakadilan terhadap ASN yang melakukan pelanggaran.
Keterangan ini disampaikan oleh Dosen Fakultas Hukum Universitas Borobudur Zudan Arif Fakrulloh dalam sidang uji UU ASN untuk perkara Nomor 87/PUU-XVI/2018, 88/PUU-XVI/2018, 91/PUU-XVI/2018 yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK) di Ruang Pleno MK. Zudan menyatakan Pasal 87 ayat (2) UU ASN memberikan ruang diskresi terlalu besar pada PPK untuk memberhentikan PNS atau tidak memberhentikan PNS. Ruang diskresi ini, ujar dia, akan menimbulkan ketidakpastian hukum karena masing-masing PPK dapat memiliki penafsiran subjektif terhadap PNS. “Penafsiran subjektif ini dapat terjadi karena hubungan antara PPK dan PNS bisa sedemikian dekat atau justru sedemikian jauh. Karena ada penafsiran subjektif, maka norma ini potensial melahirkan ketidakadilan,” jelasnya selaku ahli Pemohon Nomor 91/PUU-XVI/2018.
Selain itu, Zudan pun menyebut Pasal 87 ayat (4) huruf b dan huruf d UU ASN terjadi perhimpitan makna sehingga menimbulkan perbedaan penafsiran dalam implementasi. Pada akhirnya, hal ini dapat membawa pada ketidakpastian hukum. “Misalkan si fulan melakukan tindak pidana umum, yakni penganiayaan dengan pidana 1 tahun. Pertanyaaannya apakah orang tersebut mesti diberhentikan dari PNS berdasar Pasal 87 ayat (4) UU ASN atau tidak diberhentikan berdasar Pasal 87 ayat (2) UU ASN,” ujar Mantan Plt. Gubernur Gorontalo tersebut.
Dalam praktik tata kelola pemerintahan, lanjut Zudan, banyak PPK akhirnya memilih tidak memberhentikan PNS karena secara kemanfaatan sosial hal ini lebih menguntungkan. Hal ini dipilih dengan pertimbangan PNS tersebut secara subjektif dirasa memiliki nilai lebih.
Di sisi lain, menurut Zudan, aturan ini juga tidak sesuai dengan aturan yang ada di bawahnya, yakni Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2017. Ada ketidak sesuaian antaran Pasal 23 ayat (1) PP Nomor 11/2017 dengan pasal-pasal yang diuji. “Begitu juga koherensi antar norma tidak bisa terwujud jika kita cermati norma Pasal 87 UU ASN dengan Pasal 247 sampai Pasal 251 PP tentang Manajemen PNS,” tegasnya dalam sidang yang digelar pada Selasa (29/1/2019) siang.
Kewenangan Hakim
Sementara itu, Maruarar Siahaan menyebut Pasal 87 ayat (4) huruf b dan d serta Pasal 87 ayat (2) UU ASN seharusnya menjadi ranah kewenangan hakim dan menjadi bagian putusan hakim.
“Oleh karena itu, pasal-pasal a quo sebenarnya menjadi kewajiban jaksa penuntut umum untuk menuntut salah satu dalam petitumnya memberhentikan atau tidak seseorang itu. Jadi, disamping dinyatakan bersalah, dihukum dia oleh jaksa tuntutannya, dinyatakan juga oleh hakim diminta supaya dipecat, tentu dengan argumentasi yang cukup dan hakim juga tentu akan mempertimbangkan berat ringannya sedemikian rupa. Oleh karena itulah sangat penting sekali saya kira due process itu, dan Pasal 87 menurut saya tidak ada pun di dalam Undang-Undang ASN. Tidak menjadi masalah karena asas contrarius actus memberi wewenang siapa yang mengangkat boleh memecat,” paparnya.
Sebelumnya, perkara yang teregistrasi dengan Nomor 87/PUU-XVI/2018 diajukan oleh Hendrik. Kemudian, lima Pemohon mengajukan perkara Nomor 88/PUU-XVI/2018, yaitu Fatah Yasin, Panca Setiadi, Nawawi, Nurlaila, dan Djoko Budiono. Para Pemohon mendalilkan dirugikan dengan berlakunya Pasal 87 ayat (2) dan Pasal 87 ayat (4) UU ASN yang mengatur tentang pemberhentian ASN. Pemohon yang pernah menjadi terpidana mendalilkan kata “dapat” dalam Pasal 87 ayat (2) UU ASN dapat menimbulkan pelaksanaan norma yang bersifat subjektif berdasarkan pelaksana undang-undang. Selanjutnya, menurut Pemohon, frasa “melakukan tindak pidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan pidana yang dilakukan dengan berencana” dalam Pasal 87 ayat (4) huruf d tidak memuat klasifikasi tindak pidana secara spesifik. Hal tersebut dinilai Pemohon menimbulkan ketidakjelasan dalam penerapan norma a quo. Pemohon menyimpulkan, bahwa seluruh norma yang Pemohon ujikan pada dasarnya telah bertentangan dengan “Asas Dapat Dilaksanakan”, “Asas Kejelasan Rumusan”, “Asas Keadilan”, “Asas Kesamaan Kedudukan dalam Hukum dan Pemerintahan”, dan “Asas Kepastian dan Kepastian Hukum.”
Sementara itu, Pemohon perkara Nomor 91/PUU-XVI/2018, merasa dirugikan dengan berlakunya Pasal 87 ayat (4) huruf b UU ASN yang dinilai mengandung ketidakpastian hukum karena menghalangi Pemohon untuk aktif, serta memperoleh kesempatan yang sama di dalam pemerintahan. Untuk itu, para Pemohon meminta kedua pasal a quo dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. (Arif Satriantoro/LA)