Mahkamah Konstitusi (MK) menerima kunjungan mahasiswa Flinders University Australia di Aula Gedung MK. Kunjungan yang dihadiri oleh sekitar 30 orang yang berasal dari beberapa mahasiswa pertukaran tersebut bertujuan untuk mengenal mengenai Mahkamah Konstitusi dan kewenangannya.
Peneliti Senior MK Pan Mohamad Faiz menerima kunjungan sekaligus menjadi pemateri dalam kegiatan tersebut. Faiz menyampaikan materi tentang “Fungsi dan Kewenangan MKRI”. Ia menjelaskan awal kelahiran MK yang dimulai ketika masa reformasi pada 1998. Reformasi 1998, lanjutnya, melatarbelakangi adanya amendemen UUD 1945 yang melahirkan Mahkamah Konstitusi.
Faiz pun menjelaskan mengenai empat kewenangan dan satu kewajiban yang diberikan oleh UUD 1945 kepada MKRI. Kewenangan tersebut, yakni pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, menyelesaikan sengketa kewenangan lembaga negara, memutus perselisihan hasil pemilihan umum legislatif dan presiden-wakil presiden, dan memutus pembubaran parpol. Sementara satu kewajiban yang diberikan kepada MKRI adalah memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga melakukan pelanggaran (impeachment).
Terkait pengujian undang-undang, Faiz menyebut terdapat dua model, yakni model desentralisasi (decentralized judicial review) dan model sentralisasi (centralized judicial review). Negara yang menganut model desentralisasi, maka lembaga peradilan dari tingkat pengadilan negeri sampai Mahkamah Agung dapat melakukan pengujian undang-undang, seperti yang dilakukan di Amerika Serikat dan lainnya. Sedangkan negara yang menganut pengujian undang-undang dengan model sentralisasi, maka menunjuk satu lembaga untuk menjalankan kewenangan menguji undang-undang. “MKRI termasuk yang menganut centralized system. Model ini juga bisa disebut European Model karena berkembang di negara-negara Eropa atau Kelsenian Model karena diciptakan oleh Hans Kelsen,” terangnya.
Hal ini pula, lanjut Faiz, yang membedakan Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Jika Mahkamah Konstitusi menguji konstitusionalitas suatu undang-undang, maka Mahkamah Agung yang menguji legalitas suatu peraturan di bawah perundang-undangan, seperti Perppu, PP, Perda, Perpres dan lainnya.
Sementara terkait dengan pembubaran partai politik, Faiz mengungkapkan MKRI belum pernah menangani permohonan mengenai pembubaran parpol. Akan tetapi, sambungnya, kewenangan ini muncul karena Indonesia memiliki pengalaman adanya parpol yang dibubarkan tanpa melalui proses peradilan. Keberadaan MK untuk memeriksa parpol yang dinilai menganut paham anti-Pancasila, menurut Faiz, merupakan upaya untuk melindungi hak konstitusional anggota parpol.
“Pada jaman Soeharto dan Soekarno, parpol dibubarkan hanya berdasarkan isu tanpa membuka kesempatan pembelaan bagi anggota parpol. Oleh karena itu, sekarang pembubaran parpol harus melalui proses persidangan dan mendapat putusan yang berkekuatan hukum. Hal ini untuk melindungi hak konstitusional anggota parpol,” jelasnya.
Dalam kesempatan itu, Faiz pun menjelaskan karakteristik putusan MK yang bersifat erga omnes. Ia mencontohkan jika ada pemohon pengujian undang-undang yang dikabulkan oleh MK, maka putusan tersebut bukan hanya berlaku bagi pemohon, namun bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Selain itu, Faiz pun menyampaikan mengenai proses rekrutmen hakim konstitusi yang diajukan oleh tiga lembaga, yakni Presiden, DPR, dan Mahkamah Agung. Ia menegaskan meski sembilan hakim konstitusi terpilih masing-masing tiga orang dari tiga lembaga tersebut, namun ketika dilantik menjadi hakim konstitusi, para kandidat tidak membawa kepentingan dari lembaga pengusungnya. “Dipilihnya hakim konstitusi dari tiga lembaga tersebut, merupakan pelaksanaan mekanisme check and balances. Misalnya, meski diajukan oleh presiden, hakim konstitusi tidak boleh memihak kepentingan Presiden. Hakim konstitusi sudah menanggalkan seluruh kepentingannya ketika terpilih,” paparnya.(Lulu Anjarsari)