Ternyata tidak hanya DPD atau Aliansi Delapan Parpol (ADP) yang merasa keberatan dengan UU Pemilu yang baru. Karena lembaga survei independen merasa dirugikan terkait larangan mempublikasikan perhitungan cepat (quick count) hasil pemilu.
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) justru menyarankan agar semua pihak yang berkeberatan bisa berbarengan melakukan judicial review. "Sekalian saja diajukan, supaya nanti tidak repot menjelang pemilu," katanya di Jakarta, Jumat (4/4).
Tidak repot yang dimaksud Jimly adalah tidak perlu berkali-kali melakukan pengujian. Karena selain menghabiskan waktu, itu juga akan menambah kebingungan serta ketidakpastian legalitas dari UU tersebut. "Biasanya juga ada lima sekaligus jadi pemohon, toh Pemerintah dan DPR-nya juga sama," katanya.
Dan ketika ditanya mengapa undang-undang tersebut mengundang keberatan dari banyak pihak, menurut Jimly hal itu biasa terjadi di negara demokrasi. Karena suara rakyat yang tersalur melalui lembaga parlemen bisa saja hanya mencerminkan suara formal. Sehingga bisa saja ada suara real yang tidak tersalurkan melalui perwakilan resmi. "Maka disitulah peranan mekanisme peradilan konstitusi, adalah untuk menjamin supaya hak konstitusional warga negara bisa dilindungi sesuai dengan perjanjian konstitusi tertinggi," ujarnya.
Selain mengenai suara minoritas dan mayoritas di dalam parlemen, Jimly menjelaskan, bahwa kekecewaan banyak pihak terhadap satu produk undang-undang juga bisa disebabkan karena parlemen terlalu formalistis. Artinya, apa yang disuarakan di parlemen belum tentu kepentingan riil rakyat yang diwakili. Sehingga apa yang riil terjadi di masyarakat, bisa jadi tidak disuarakan. "Apa yang disalurkan itu, tercermin dalam undang-undang. Bukan kepentingan rakyat, tapi kepentingan elite," katanya.
Pada point itulah kemudian disediakan mekanisme judicial review yang dibuktikan melalui proses peradilan. Dan kalau terbukti ada pelanggaran hak konstitusional serta norma yang dipersoalkan memang sungguh-sungguh bertentangan dengan konsitusi, MK berkewajiban untuk melindungi hak konstitusional warganya. "Ingat, bahwa hak konstitusional warga negara, harus dilindungi agar sesuai dengan perjanjian konstitusi tertinggi," ujarnya.
Dan dengan adanya perubahan mengenai UU Penyelenggaraan Pemilu, UU Pemilu, dan UU Pemda, saat ini MK tengah membuat peraturan baru mengenai perselisihan hasil. Karena itu, pihaknya saat ini tengah menunggu revisi dari UU Pilpres serta UU MK. "Karena konsekuensi dari perubahan undang-undang ini, membuat kami harus membuat secara khusus prosedur beracara untuk Pilkada. Itu sehubungan adanya ketentuan mengenai perselisihan Pilkada yang menjadi tugas MK dan adanya calon perseorangan."
Jimly mengatakan, perturan itu nantinya juga akan mengatur tentang pemeriksaan jarak jauh dengan menggunakan teleconference. Teleconference langsung berhubungan dengan Mapolda di Ibukota Provinsi di masing-masing tempat terjadinya kasus. Sehingga pemeriksaannya lebih efisien, murah, cepat, dan orang yang berkumpul pun tidak terpusat di satu tempat. "Dengan demikian penyelesaiannya bisa lebih rasional," tandasnya.
Sumber www.jurnalnasional.com (05/04/08)
Foto dari www.google.co.id