Sejumlah pertanyaan disampaikan beberapa mahasiswa berbagai jurusan yang tergabung dalam Gabungan Kelompok Belajar (Gapokjar) se-Jabodetabek saat berkunjung ke Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (24/1/2019) siang. Kedatangan mereka diterima oleh Peneliti MK Alboin Pasaribu di Ruang Delegasi Gedung MK.
Misalnya, ada yang menanyakan rekrutmen hakim konstitusi dari tiga unsur yakni Pemerintah, DPR dan Mahkamah Agung dianggap memiliki unsur politik. Alboin menepis anggapan itu. “Saya kira tidak. Karena ini justru menunjukkan adanya checks and balances di antara lembaga-lembaga yang memiliki kewenangan eksekutif, legislatif, judikatif,” urai Alboin.
Dijelaskan Alboin, pengaturan dan rekrutmen hakim konstitusi di setiap negara berbeda-beda. Ada hakim konstitusi yang ditetapkan oleh senat, kemudian diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Ada hakim konstitusi yang dipilih DPR, ada hakim konstitusi yang dipilih oleh Mahkamah Agung (MA). “Soal mekanisme pengisian jabatan hakim konstitusi sudah banyak menjadi kajian. Kalau dikatakan ini ada sisi politisnya, saya pikir tidak juga. Justru ini untuk menyeimbangkan tiga cabang kekuasaan negara,” ucap Alboin.
Sikap mandiri, independen dan tidak adanya sisi politis saat menjalankan tugas harus dimiliki hakim konstitusi. “Ketika seseorang sudah terpilih menjadi hakim konstitusi, maka sudah seharusnya dia harus melepaskan semua kepentingan politik, jubah partai politik yang pernah disandangnya,” jelas Alboin.
Lebih dari itu, sambung Alboin, putusan MK tidak hanya diputuskan oleh satu atau dua orang hakim konstitusi. Seringkali putusan MK terdapat dissenting opinion yang mencerminkan kemandirian seorang hakim konstitusi.
Selain itu, ada mahasiswa yang menanyakan soal pemberlakuan hukum ketika hak asasi manusia dilanggar. Ditegaskan Alboin, tidak boleh sedikit pun hak asasi manusia dilanggar, dibiarkan terjadi.
“Mahkamah Konstitusi terpanggil untuk mengawal tegaknya hak asasi manusia. Kalau perkara pelanggaran hak asasi manusia dibawa ke Mahkamah Konstitusi, maka Mahkamah Konstitusi pasti akan mendahulukan perlindungan hak asasi manusia. Karena ini sudah menjadi ruh terbentuknya Mahkamah Konstitusi. Ketika Mahkamah Konstitusi diamanatkan untuk mengawal Konstitusi, maka Mahkamah Konstitusi juga diamanatkan melindungi hak asasi manusia. Termasuk juga melindungi hak-hak konstitusional warga negara,” tegas Alboin.
Kemudian muncul juga pertanyaan soal indikator MK yang dianggap bisa menjadi negative legislator maupun positive legislator. “Tidak ada indikator yang mengatakan kapan MK harus jadi negative legislator, kapan harus jadi positive legislator. Ini merupakan topik yang sering diperdebatkan ketika kita membahas Mahkamah Konstitusi. Dalam putusan-putusannya, sekalipun dikatakan orang bahwa MK cenderung menjadi positive legislator, ternyata MK justru banyak juga bersikap menahan diri,” papar Alboin.
Dalam pertemuan itu, Alboin menerangkan sejarah judicial review di dunia. Lainnya, dia juga menyinggung kewenangan dan kewajiban MK serta beberapa putusan monumental MK. (Nano Tresna Arfana/LA)