Mahkamah Konstitusi (MK) menerima kunjungan MGMP PKN SMP Kota Bandung, pada Kamis (24/1/2019). Sebanyak 47 peserta langsung disambut oleh Peneliti MK Alia Harumdani di Ruang Delegasi MK. Kunjungan tersebut dilakukan untuk mengenal lebih dalam terkait lembaga pengawal konstitusi ini.
Saat pemaparan awal, Alia menjelaskan jika MK memiliki empat kewenangan dan satu kewajiban. Kewenangan yang dimiliki MK, yakni menguji UU terhadap UUD 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan hasil pemilu. “Untuk kewajibannya adalah memberikan putusan atas pendapat DPR tentang dugaan pelanggaran presiden dan atau wakil presiden menurut UUD 1945,” kata dia.
Alia menyatakan ada empat pihak yang dapat mengajukan perkara ke MK. Pihak tersebut, yakni perorangan warga negara Indonesia, kesatuan masyarakat hukum adat, badan hukum publik atau privat, serta lembaga negara.
Selain itu, Alia juga menjelaskan tentang alur dalam berperkara di MK. Proses pertama adalah pemeriksaan pendahuluan. “Pada proses ini, hakim konstitusi memberikan nasihat terkait perkara agar diperbaiki jika masih ada kesalahan,” jelasnya.
Setelah pemeriksaan pendahuluan, lanjut Alia, baru masuk sidang pemeriksaan. Dalam fase ini, para pihak bertugas untuk melakukan pembuktian dengan menghadirkan ahli-ahli dan saksi dalam persidangan. Saat menghadirkan ahli, Alia mengibaratkan seperti momen saling berkorespondensi, bukan seperti di peradilan umum yang saling menuntut.
“Pihak-pihak seperti Pemerintah, Pemohon, dan Pihak Terkait dapat menghadirkan Ahli. Bahkan jika tak cukup, majelis hakim pun dapat juga menghadirkan ahli,” jelasnya. Setelah proses ini, barulah ada pemberian kesimpulan dari semua pihak.
Kemudian, lanjut Alia, baru masuk dalam fase putusan yang dibuat oleh MK. Fase ini dilakukan melalui Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). RPH bersifat rahasia dan tertutup. “Saat RPH dilakukan, hanya sembilan hakim saja yang terlibat dalam forum ini. Ditambah petugas yang sudah disumpah untuk tidak membocorkan hasil putusan,” ujarnya.
Setelah pembahasan selesai, acara berlanjut dalam sesi tanya jawab. Peserta kunjungan menanyakan alasan yang menjadi pertimbangan MK dalam memutus suatu perkara. Pertanyaan lainnya juga mempertanyakan mengenai kemungkinan adanya pemilu ulang dalam sengketa Pilpres atau pembatalan hasil pilpres.
Alia menyebut hal ini merupakan hak prerogatif hakim MK. Jadi, setiap hakim tentu memiliki pandangan hukum yang berbeda-beda dalam mengambil putusan. Ini, kata dia, tidak bisa dilepaskan dari dinamika lapangan. “Misal pada tahun tertentu dalam suatu hal dianggap pelanggaran. Namun di tahun berikutnya tidak dianggap demikian,” jelasnya. (Arif Satriantoro/LA)