Jakarta, hukumonline - SP3 13 Juli 2004 yang akan dipraperadilankan hanya menyangkut kasus BDNI Sjamsul Nursalim. Antony Salim tak tersentuh?
Boyamin Saiman, aktivis salah satu LSM anti korupsi di Jawa Tengah kembali beraksi membidik penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Kali ini bukan lagi urusan korupsi haji. Ia membidik SP3 yang dikeluarkan Kejaksaan Agung pada 13 Juli 2004 silam. SP3 itu ditujukan terhadap penyidikan perkara dugaan korupsi bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) oleh bos Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim.
âSudah didaftarkan hari ini di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan,â ujar Boyamin lewat saluran telepon, Kamis (3/4). Pengajuan praperadilan itu, sambungnya, antara lain dilandasi lantaran telah tercederai rasa keadilan masyarakat. Dia mengatakan, korupsi di daerah biasanya hanya bernilai kecil. Sebaliknya, korupsi BLBI pasti merupakan korupsi yang merugikan negara dalam nilai yang cukup besar.
âDi daerah, untuk mengejar korupsi yang nilainya kecil-kecilan saja sampai ditahan-tahan, diuber-uber kayak maling ayam,â ujarnya. Sementara di tingkat pemerintah pusat, lanjutnya, pengemplang utang yang merugikan negara malah dibiarkan melenggang kangkung dengan jaminan sebuah Inpres No. 8/2002 dan SP3.
Seperti diketahui, SP3 dikeluarkan terhadap Sjamsul lantaran adanya Instruksi Presiden No. 8/2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya atau Tindakan Hukum Kepada Debitur yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham.
Inpres itu menentukan, bagi debitor kooperatif yang sudah mengantongi Surat Keterangan Lunas (SKL) maka diberikan jaminan bebas dari jeratan pidana. Sjamsul dikategorikan sebagai debitor kooperatif yang telah melunasi kucuran dana bantuan pemerintah. Karena itulah ia dijamin bebas dengan penerbitan SP3 oleh Jaksa Agung yang kala itu dijabat oleh MA Rachman.
Sebagai catatan, meski SP3 untuk Sjamsul telah terbit, Kejaksaan Agung (Kejagung) pimpinan Hendarman Supandji berusaha mengusut ulang perkara itu dengan membentuk Tim Jaksa 35 yang dipimpin Jaksa Urip Tri Gunawan. Selain BDNI, Kejaksaan juga menyelidiki perkara BCA yang turut menggeret nama Anthony Salim.
Kejaksaan kemudian menghentikan pengusutan itu lantaran tidak ditemukan adanya perbuatan melawan hukum yang dilakukan duo Salim itu. Belakangan setelah pengusutan dihentikan, Ketua Tim Jaksa Urip malah dipergoki Komisi Pemberantasan Korupsi menerima uang dari tangan kanan Sjamsul Nursalim yang bernama Artalyta Suryani.
Boyamin menilai, meski sudah menyerahkan aset untuk menambal kerugian negara, menurut hasil audit BPK diketahui aset yang dikembalikan nilainya menurun. Belum lagi dalam tahap pengusutan ulang untuk menguji SP3 terhadap perkara yang sama, ternyata dibumbui dengan dana Urip Tri Gunawan dan Artalyta. âAwalnya kami melihat Kejaksaan itu sebagai institusi yang bersih, tapi setelah peristiwa Urip itu, kami agak ragu,â bebernya.
Berdasarkan catatan hukumonline, wacana penerbitan SP3 yang berhulu dari beleid yang lazim disebut kebijakan Release And Discharge itu bukan hal baru. Indonesian Corruption Watch (ICW) pernah memiliki wacana serupa. ICW menilai pemberian SP3 itu dinilai sangat tidak rasional dan kontroversial dan tidak sesuai dengan semangat pemberantasan korupsi.
Inpres ternyata juga pernah diajukan judicial review ke Mahkamah Agung (MA) oleh sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Namun benteng terakhir pencari keadilan itu menolak permohonan dengan dua pertimbangan utama. Pertama, Presiden memiliki kewenangan membuat langkah kebijakan (beleid regels) untuk menyelamatkan aset negara. Kedua, sebagai kebijakan, instruksi tersebut tidak masuk obyek hak uji materi.
Kekesalan terhadap enaknya para pengemplang BLBI ternyata tak hanya menjangkiti Boyamin dan rekan-rekannya. Adalah Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) juga turut menbidik. Tak kunjungnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengambil alih kasus BLBI I dan BLBI II, diduga sebagai pemicunya.
Ketua PBHI Syamsuddin Radjab mengatakan, saat ini PBHI tengah mempersiapkan pra peradilan untuk Kejagung. Lain halnya dengan Boyamin, Syamsuddin menilai keengganan KPK mengambil alih kasus BLBI menjadi sebab masih eksisnya SP3 tersebut. âSetelah praperadilan (lolos, red), maka KPK harus ambil alih,â tegasnya.
Lain halnya Boyamin, PBHI menilai perintah penghentian penyidikan tak memenuhi kondisi yang disyaratkan oleh Pasal 140 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Kondisi itu antara lain, tidak terdapat bukti, peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum.
Persoalannya, apakah SP3 yang jadi obyek praperadilan PBHI itu masih tetap eksis dengan dibukanya lagi kasus tersebut melalui Tim Jaksa 35? Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung BD Nainggolan malah mengaku baru mengetahui keberadaan SP3 tahun 2004 itu. âSaya baru tahu itu, jadi saya tak bisa berkomentar,â ujarnya. Namun menanggapi telah dilayangkannya praperadilan ke PN Jaksel, Nainggolan mengatakan, Kejaksaan pasti siap menghadapi.
Jauh hari sebelum terpilih menjadi Jaksa Agung, Hendarman Supandji pernah mengatakan, untuk membuka kembali perkara yang sudah dihentikan penyidikannya, harus melalui praperadilan. âSesuai KUHAP, hanya bisa dibuka dan diuji melalui lembaga praperadilan,â ujarnya kala itu. Jadi untuk mencabut SP3 memang diperlukan tindakan seperti dilakukan Boyamin-Syamsuddin Radjab dan kawan-kawannya.
Menurut KUHAP pula, yang bisa menjadi obyek praperadilan terbatas pada SP3 untuk Penyidikan dan Penuntutan. Taipan Grup Salim lainnya, Antony Salim, ternyata belum pernah tersentuh penyidikan sama sekali. Ia bebas begitu saja setelah mengantongi Surat Keterangan Lunas. Nah, SP3 yang hendak dipraperadilankan Boyamin-Syamsuddin itu ternyata hanya terkait Sjamsul Nursalim. Bagaimana dengan Anthony Salim? (NNC/Ali)
Sumber www.hukumonline.com (03/04/08)
Foto dari www.eharch.com