Mahkamah Konstitusi menolak untuk seluruhnya permohonan uji materiil mengenai batas waktu 14 hari pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang dimohonkan oleh Husdi Herman dan Viktor Santoso Tandiasa. Aturan tersebut tercantum dalam Pasal 31A ayat (1) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU MA) serta Pasal 20 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman) pada Kamis (24/1/2019) di Ruang Sidang Pleno MK. “Amar putusan, mengadili, menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” ucap Ketua MK Anwar Usman yang didampingi oleh hakim konstitusi lainnya dalam sidang putusan yang digelar pada Kamis (24/1/2019) siang.
Sebelumnya, Pemohon mendalilkan norma yang diujikan merupakan turunan dari ketentuan Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 yang memberikan kewenangan pada MA untuk menguji peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU. Dalam pemberlakuannya, dilaksanakan tanpa dihadiri para pihak dan tidak terbuka untuk umum. Padahal tidak ada pengecualian yang diberikan dalam undang-undang.Sedangkan Pemohon II mengalami kerugian konstitusional karena mengalami kebingungan dalam menjelaskan bagaimana proses pemeriksaan dalam persidangan uji materiil di MA yang sesuai dengan UUD 1945 serta ditafsirkan sebagaimana tertuang dalam Putusan MK Nomor 93/PUU-XV/2017. Untuk itu, Pemohon memohonkan agar ketentuan pasal a quo sepanjang tidak dimaknai proses pemeriksaan dalam persidangan atas permohonan keberatan hak uji materiil dilakukan dengan dihadiri para pihak-pihak yang berperkara dalam sidang yang dinyatakan terbuka untuk umum bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Terhadap permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 85/PUU-XVI/2018, Mahkamah melalui pertimbangan hukum yang dibacakan Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menyebutkan persoalan konstitusionalitas yang dimohonkan berkenaan langsung dengan ketentuan Pasal 31A ayat (4) UU MA mengenai permohonan pengujian peraturan di bawah undang-undang dilakukan oleh MA paling lama 14 hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya permohonan.
“Oleh Pemohon perkara a quo, dimohonkan agar pemeriksaan dilakukan secara terbuka untuk umum, Mahkamah berpendapat bahwa pasal a quo adalah konstitusional dan dianggap sebagai bagian dari kebijakan umum pembentuk undang-undang,” terang Wahiduddin.
Mahkamah juga berpendapat esensi persoalan konstitusionalitas yang dimohonkan para Pemohon sama dengan permohonan perkara yang telah diputus MK dalam PutusanNomor 30/PUU-XIII/2015. Apabila para Pemohon mengharapkan sidang perkara pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dilakukan sidang terbuka untuk umum dan dihadiri oleh para pihak, maka MA harus diberikan waktu yang cukup serta sarana dan prasarana yang memadai. Hal tersebut menurut, Mahkamah telah ditegaskan merupakan kewenangan pembentuk undang-undang dan bukan konstitusionalitas norma.
Harus Sejajar
Terhadap putusan Mahkamah, Hakim Konstitusi Saldi Isra memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion). Menurut Saldi, berkenaan dengan norma a quo semestinya MK berpegang pada Putusan Nomor 93/PUU-XV/2017 bertanggal 20 Maret 2018. Kendati UU MA tidak mengatur secara eksplisit proses pemeriksaan terhadap permohonan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap UUD 1945, mestinya cara berpikir hukum MA dan MK dalam proses pengujian yang dimaksudkan harus sejajar. Keharusan demikian, tambah Saldi, tidak hanya didasarkan karena pertimbangan hukum MK Nomor 93/PUU-XV/2017, tetapi juga berdasarkan amanat Pasal 13 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam pasal tersebut, secara eksplisit menyatakan semua sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali undang-undang menentukan lain. “Dalam hal ini UU MA dan UU Kekuasan Kehakiman tidak menentukan lain perihal proses pemeriksaan pengujian atau sesuai Putusan MK Nomor 93/PUU-XV/2017 disebut sebagai original jurisdiction untuk mengadili norma,” terang Saldi.
Berkaitan dengan norma Pasal 31A ayat (4) UU MA yang secara hukum telah dinyatakan konstitusional oleh MK dalam Putusan Nomor 30/PUU-XIII/2015, menurut Saldi, masalah ini sebaiknya ditelisik kembali pada pertimbangan hukumnya dengan melihat arti penting proses persidangan yang terbuka untuk umum dalam bingkai kekuasaan kehakiman yang merdeka. Dengan tidak menyimpang dari pertimbangan hukum yang telah diputuskan, batas waktu yang wajar tersebut diserahkan menjadi ranah pembentuk undang-undang.
“Dengan demikian, ketentuan Pasal 31A ayat (4) tidak dikesampingkan, tetapi diperpanjang batas waktunya dengan tetap mempertimbangkan prinsip peradilan yang dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan sebagaimana termaktub dalam Pasal 2 ayat (4) UU Kekuasaan Kehakiman. Berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut, seharusnya Mahkamah mengabulkan permohonan para Pemohonan untuk sebagian,” tandas Saldi. (Sri Pujianti/LA)