Permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU Perimbangan Keuangan) yang diajukan Yadi Supriyadi dan para Pemohon lainnya akhirnya tidak dapat diterima Mahkamah Konstitusi (MK).
“Amar putusan, menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima,” kata Ketua MK Anwar Usman didampingi delapan hakim konstitusi dalam sidang pengucapan Putusan Nomor 89/PUU-XVI/2018, Kamis (24/1/2019) siang.
Para Pemohon adalah warga Kabupaten Bandung yang merupakan daerah penghasil listrik panas bumi terbesar se-Indonesia. Mereka yang terdampak secara langsung oleh aktivitas pertambangan panas bumi di Wilayah Kerja Pertambangan (WKP) Darajat, Kamojang dan Pangalengan. Aktivitas pertambangan panas bumi di WKP Darajat, Kamojang, dan Pangalengan telah mengakibatkan dampak negatif bagi hidup dan kehidupan Pemohon dan penduduk Kabupaten Bandung. Ketika Pasal 21 ayat (2) huruf a UU Perimbangan Keuangan yang mengatur pembagian dana bagi hasil panas bumi untuk provinsi sebesar 16% masih diberlakukan, para Pemohon secara konstitusional merasa dirugikan. Penanganan respons secara cepat atau mitigasi preventif dengan kesiapsiagaan bencana dan penanggulangan bencana paling awal melakukan penanganan adalah Pemerintah Kabupaten Bandung, bukanlah Provinsi Jawa Barat.
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul, Mahkamah berpendapat norma Pasal 21 ayat (2) huruf a UU Perimbangan Keuangan yang diajukan pengujiannya oleh para Pemohon adalah norma yang mengatur mengenai hak daerah, sebagaimana dinyatakan oleh ketentuan norma a quo bahwa “Dana Bagi Hasil dari Penerimaan Pertambangan Panas Bumi yang dibagikan kepada Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf g dibagi dengan rincian: a. 16% (enam belas persen) untuk provinsi yang bersangkutan…”. Daerah yang dimaksud dalam ketentuan ini dapat berarti daerah provinsi atau daerah kabupaten/kota. Oleh karena hal ini merupakan hak daerah, lebih khusus lagi adalah hak pemerintah provinsi, maka yang seharusnya dapat mempersoalkan konstitusionalitas norma a quo adalah pemerintah provinsi, bukan perorangan warga negara.
Berdasarkan uraian di atas, ungkap Manahan, oleh karena substansi permohonan a quo adalah berkenaan dengan hak daerah, baik daerah provinsi maupun kabupaten/kota, apabila berkenaan dengan hak tersebut terdapat norma yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945, maka sesungguhnya yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan adalah pemerintahan daerah.
Manahan melanjutkan urusan-urusan pemerintahan yang kewenangannya diserahkan kepada daerah baik berdasarkan desentralisasi, dekonsentrasi, atau tugas pembantuan tidak akan dapat dilaksanakan tanpa diikuti dengan pembagian keuangan pusat dan daerah. Hal ini pun dapat dipahami dari Konsiderans “Menimbang” huruf c UU Perimbangan Keuangan yang menyatakan “untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah melalui penyediaan sumber-sumber pendanaan berdasarkan kewenangan Pemerintah Pusat, Desentralisasi, Dekonsentrasi, dan Tugas Pembantuan, perlu diatur perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah berupa sistem keuangan yang diatur berdasarkan pembagian kewenangan, tugas, dan tanggung jawab yang jelas antarsusunan pemerintahan”.
Dengan demikian, menurut Mahkamah, karena substansi permohonan a quo adalah berkenaan dengan pembagian dana bagi hasil karena persoalan dana bagi hasil tersebut merupakan hak daerah sehingga merupakan bagian dari persoalan hak dan/atau urusan yang menjadi kewenangan daerah. Oleh karena itu, lanjut Manahan, sesuai dengan pertimbangan hukum Mahkamah di atas, maka pihak yang dapat mengajukan permohonan pengujian norma yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon adalah pemerintahan daerah, bukan orang perorangan. Dengan demikian, para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo.
“Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili Permohonan a quo, namun oleh karena para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon, Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan,” pungkas Manahan. (Nano Tresna Arfana/LA)