Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan untuk seluruhnya uji materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu). Kedua perkara tersebut, yakni Perkara Nomor 48/PUU-XVI/2018 yang diajukan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dan Perkara Nomor 53/PUU-XVI/2018 yang diajukan oleh Muhammad Hafidz, dkk. “Amar putusan, menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” demikian disampaikan Ketua MK Anwar Usman didampingi para hakim konstitusi lainnya dalam sidang pengucapan putusan, Kamis (24/1).
Sebagaimana diketahui, Pemohon Perkara Nomor 48/PUU-XVI/2018 menguji Pasal 1 angka 35 UU Pemilu. Pasal a quo menyebutkan kampanye pemilu adalah kegiatan peserta Pemilu atau pihak lain yang ditunjuk oleh peserta pemilu untuk meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi, program dan/atau citra diri peserta pemilu. Pemohon menyoroti frasa “dan/atau citra diri” pasal itu. Menurut Pemohon, perumusan pasal tersebut mengandung ketidakjelasan, multitafsir atau karet, serta bercampur-baur dengan makna sosialisasi dan pendidikan politik, sehingga harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.
Mahkamah berpendapat, penyelenggara pemilu tidak dapat menafsirkan frasa tersebut secara lentur. Pada satu kondisi tertentu, frasa tersebut diartikan dalam makna tertentu. Sementara dalam kondisi lain, ia akan ditafsirkan dengan makna lain lagi. Hal tersebut akan sangat sulit terjadi, sebab maksud yang dikandung frasa “citra diri” telah sangat jelas dan mencakup segala tindakan peserta pemilu terkait pencitraan dirinya.
“Kalaupun dalam pelaksanaannya penyelenggara pemilu menerapkan norma tersebut secara berbeda kepada peserta pemilu, hal itu lebih sebagai pelanggaran terhadap prinsip profesionalitas penyelenggara pemilu, bukan masalah konstitusionalitas norma Pasal 1 angka 35 UU Pemilu. Berdasarkan pertimbangan di atas, permohonan Pemohon terkait Pasal 1 angka 35 UU Pemilu sepanjang frasa dan/atau citra diri tidak beralasan menurut hukum,” kata Hakim Konstitusi Arief Hidayat yang menyampaikan pendapat Mahkamah.
Selanjutnya, Mahkamah menanggapi dalil Pemohon bahwa Pasal 275 ayat (2) dan Pasal 276 ayat (2) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945. Menurut Pemohon, norma tersebut telah melanggar hak dan kebebasannya untuk menyampaikan pendapat, pandangan politik dalam bentuk penyampaian visi, misi dan program melalui media massa dengan jangka waktu tertentu. Misalnya pengaturan Alat Peraga Kampanye (APK), iklan media massa, debat sebagai kampanye yang difasilitasi KPU yang menurut Pemohon merupakan bentuk pembatasan hak yang bertentangan UUD 1945.
Mahkamah mempertimbangkan, pembatasan-pembatasan dalam pemilu, termasuk pembatasan kampanye tidak dapat diberlakukan secara berbeda untuk peserta pemilu. Semua peserta pemilu, baik partai politik baru ataupun partai politik lama, tidak dapat dibeda-bedakan. Dengan kata lain, harus diperlakukan sama di hadapan hukum. Justru ketika salah satu diberikan perlakuan yang berbeda dari yang lain, dengan alasan partai politik baru atau lama, hal demikian dapat menyebabkan terjadinya diskriminasi.
Menurut Mahkamah, pembatasan kampanye sebagaimana diatur dalam Pasal 275 ayat (2) dan Pasal 276 ayat (2) UU Pemilu sama sekali tidak berhubungan dengan masalah titik berangkat yang berbeda antara partai politik peserta pemilu baru dan partai politik peserta pemilu yang lama. Oleh karena itu, sesungguhnya tidak cukup alasan bagi Pemohon untuk mempersoalkan pembatasan kampanye yang ada dengan dalil terdapat titik berangkat yang berbeda antara partai politik lama dan partai politik baru.
Berdasarkan alasan-alasan hukum sebagaimana diuraikan di atas, pembatasan metode kampanye tertentu dalam Pasal 275 ayat (2) dan waktu kampanye dalam Pasal 276 ayat (2) UU Pemilu merupakan pembatasan yang masuk akal dan proporsional.
“Berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, Mahkamah berpendapat permohonan Pemohon berkenaan dengan inkonstitusionalitas norma dalam Pasal 1 angka 35, Pasal 275 ayat (2) dan Pasal 276 ayat (2) UU Pemilu adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya,” tegas Hakim Konstitusi Saldi Isra yang membacakan pendapat Mahkamah.
Merujuk Permohonan Sebelumnya
Sementara terhadap Perkara 53/PUU-XVI/2018 yang diajukan Muhammad Hafidz dan Pemohon lainnya, Mahkamah merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 48/PUU-XVI/2018 menyatakan “Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya”. Dalam putusan tersebut, Mahkamah menyampaikan pertimbangan hukum bahwa apabila permohonan Pemohon untuk menyatakan frasa “dan/atau citra diri” bertentangan dengan UUD 1945 diterima, maka kelemahan yang terdapat dalam regulasi pemilu sebelumnya tidak akan dapat diatasi.
Selain itu, pembatalan frasa a quo juga akan mengembalikan proses kampanye pemilu ke keadaan sebelumnya, dimana kampanye pemilu tidak dapat diawasi secara maksimal. Pada gilirannya, pengalaman pelaksanaan kampanye di bawah UU No. 8/2012 maupun UU No. 42/2008 akan sangat potensial terulang kembali. Pada saat yang sama, upaya untuk menempatkan kampanye pemilu sesuai kondisi materiilnya guna menjaga agar pemilu berjalan secara jujur dan adil, tidak akan terpenuhi.
“Sekalipun para Pemohon menjelaskan kedudukan hukumnya dalam mengajukan permohonan a quo lebih dikarenakan oleh kepentingan pemilih untuk dapat mengetahui visi dan misi peserta pemilu termasuk dalam hal ini partai politik peserta pemilihan umum. Namun disebabkan substansi norma Pasal 1 angka 35 UU Pemilu adalah untuk memberikan pembatasan ihwal kampanye, maka menyatakan norma pasal a quo inkonstitusional,” kata Wakil Ketua MK Aswanto yang membacakan pendapat Mahkamah.
Dengan demikian permohonan para Pemohon bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 48/PUU-XVI/2018 yang menyatakan perubahan pengertian kampanye merupakan suatu kebutuhan untuk menjawab kekurangan pengertian kampanye dalam beberapa undang-undang pemilu sebelumnya. Oleh karena alasan mendasar perumusan Pasal 1 angka 35 UU Pemilu telah dipertimbangkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 48/PUU-XVI/2018 maka pertimbangan tersebut mutatis mutandis berlaku pula terhadap dalil permohonan a quo. “Berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum,” tandas Aswanto. (Nano Tresna Arfana/LA)