MK Kabulkan Penarikan Uji UU KUHPerdata
Kamis, 24 Januari 2019
| 15:32 WIB
Sidang Pleno Pengucapan Ketetapan perkara uji materi Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), Kamis (24/1) di Ruang Sidang Pleno Gedung MK. Foto Humas/Ganie.
Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan penarikan kembali permohonan uji materiil Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) pada Kamis (24/1/2019) di Ruang Sidang Pleno MK. Ketua MK Anwar Usman menyebutkan terhadap permohonan yang dimohonkan Jandi Mukianto yang merupakan perseorangan warga negara beretnis Tionghoa dalam Perkara Nomor 96/PUU-XVI/2018 ini, MK telah menyelenggarakan pemeriksaan pendahuluan melalui sidang panel pada 6 Desember 2018. Selanjutnya, Mahkamah menerima surat dari Pemohon bertanggal 17 Desember 20018 yang menyatakan penarikan permohonan. Dengan demikian, pada 19 Desember 208 sejatinya Mahkamah menyelenggarakan sidang panel dengan agenda menerima perbaikan permohonan Pemohon, sekaligus meminta konfirmasi perihal surat yang diajukan. Namun Pemohon tidak hadir sekalipun telah dipanggil secara sah dan patut.
“Berdasarkan Rapat Permusyawaratan Hakim pada 10 Januari 2019 telah menetapkan pencabutan kembali permohonan Nomor 96/PUU-XVI/2018 beralasan menurut hukum dan sesuai dengan Pasal 35 ayat (3) UU MK, penarikan kembali suatu permohonan mengakibatkan permohonan tersebut tidak dapat diajukan kembali,” ucap Anwar dalam sidang pengucapan ketetapan Mahkamah Konsittusi dengan didampingi delapan hakim konstitusi lainnya.
Pada sidang sebelumnya, Pemohon menyatakan frasa “Tionghoa” pada KUHPerdata membatasi fungsi serta tujuan penegakan hukum di Indonesia yang menganut asas kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Berkaitan dengan pengertian tersebut, dalam sebuah kasus konkret ketika ingin membuat Surat Keterangan Waris, Pemohon harus menghadap notaris. Sedangkan untuk etnis di luar Tionghoa, hanya perlu datang ke kelurahan dan mendapatkan surat pengesahan. Terhadap hal ini, Pemohon juga memandang dalam suatu undang-undang ketika dibentuk dan berlaku maka diharuskan keberlakuannya secara universal dan tidak hanya kepada golongan tertentu. Namun, dalam KUHPerdata ini masih terdapat frasa “Tionghoa”. Sehingga menurut perkembangan NKRI bahwa jiwa dari KUHPerdata ini sudah tidak sesuai lagi. Untuk itu, Pemohon memohonkan kepada Majelis untuk menyatakan setiap muatan bab, pasal, ayat yang mengandung frasa “Tionghoa” dalam KUHPerdata tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. (Sri Pujianti/LA)