Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang uji materiil Pasal 58 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN), pada Selasa (22/1/2019). Ahmad Ihsan selaku Pemohon yang berprofesi sebagai perawat mempersoalkan pengadaan PNS sebatas didasarkan pada kompetensi yang dibutuhkan. Pasal 58 ayat (1) UU ASN menyatakan, “Pengadaan PNS merupakan kegiatan untuk mengisi kebutuhan jabatan administrasi dan/atau jabatan fungsional dalam suatu instansi Pemerintah”.
Muhammad Junaidi selaku kuasa hukum Pemohon menjelaskan tentang rencana Pengembangan Tenaga Kesehatan Tahun 2011-2025 oleh Kementerian Kesehatan yang dinilai Pemohon bertentangan jika pengadaan jabatan ASN didasarkan pada kompetensi yang dibutuhkan. Menurut Pemohon, perekrutan harus mempertimbangkan beberapa hal. “Jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan masyarakat, jumlah sarana pelayanan kesehatan, jumlah tenaga kesehatan sesuai dengan beban kerja pelayanan kesehatan yang ada sesuai dengan Pasal 26 ayat (3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan,” ujarnya dalam Perkara Nomor 6/PUU-XVII/2019.
Junaidi juga menjelaskan jika menitiktekankan pada aspek kebutuhan, maka hanya mengakomodasi prinsip keadilan formal (formal justice). Akan tetapi, hal ini mengesampingkan keadilan subtansial (substantial justice) bahkan keadilan masyarakat (social justice).
“Ini dapat melahirkan perspektif untuk tidak melihat cermat bahwa pengadaan PNS juga mempertimbangkan kompetensi yang dimiliki dan beban kerja sebagai pertimbangan adanya pengadaan PNS,” tambahnya.
Ketentuan dalam UU ASN, ujar Junaidi, dapat melahirkan diskriminasi hak, di antaranya hak-hak yang tidak diberikan kepada para guru honorer, hak perawat, dan profesi lain yang telah melakukan pengabdian dalam bidang profesinya untuk dapat menjadi ASN. Pemerintah tanpa mempertimbangkan keadilan bagi masyarakat dengan hanya mengedepankan kepastian hukum pemenuhan kebutuhan ASN.
“Aturan dalam pasal a quo bertentangan dengan Pasal 61 UU ASN yang menyatakan setiap WNI mempunyai kesempatan yang sama untuk melamar menjadi PNS setelah memenuhi persyaratan. Maka, makna pasal a quo secara tidak langsung melahirkan diskriminasi pada setiap warga negara untuk dapat menjadi PNS,” tegasnya dalam sidang yang dipimpin Hakim Konstitusi Saldi Isra.
Kedudukan Hukum
Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul mengkritisi terkait kedudukan hukum Pemohon sehingga terlihat kerugian konstitusional yang dialami Pemohon. “Hal ini mesti diuraikan lebih mendalam, yakni norma apa yang dilanggar dari pasal tersebut,” jelasnya.
Di sisi lain, dirinya juga mengkritisi susbtansi, banyak mengutip konsiderans UU tersebut. Baginya, hal ini tidak perlu dicantumkan karena tidak relevan. Justru sisi kerugian konstitusional yang perlu dibahas lebih mendalam. Begitu juga pengutipan PP dan Keppres dalam permohonan. Menurutnya, hal ini tidak diperlukan, justru menunjukkan permohonan ini sebagai kasus konkret.
Sementara di sisi Petitum, kata Manahan, andai pasal yang diujikan dibatalkan, akan terjadi problem besar sebab pasal tersebut menjadi akar aturan dalam UU tersebut. Jika MK membatalkan keberlakuan pasal tersebut, maka akan menyebabkan rusaknya struktur UU tersebut. (Arif Satriantoro/LA)