Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (UU Penodaan Agama) pada Selasa (22/1/2019) di Ruang Sidang Panel MK. Perkara yang teregistrasi Nomor 5/PUU-XVII/2019 yang dimohonkan oleh Zico Leonard Djagardo Simanjuntak ini dipimpin oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dengan didampingi Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Saldi Isra.
Zico menyampaikan bahwa sebelumnya Pemohon pernah mengajukan pengujian undang-undang yang sama terkait dengan Pasal 4 UU Penodaan Agama dan telah diputus dalam Putusan Nomor 76/PUU-XVI/2018. Pemohon menerima putusan tersebut yang menyatakan pasal penistaan agama konstitusional namun perlu dilakukan perubahan mendesak. Akan tetapi, hingga permohonan ini diajukan kembali oleh Pemohon, pembentuk undang-undang belum melakukan hal tersebut.
“Akibatnya, Pemohon menilai hal tersebut merugikan konstitusional Pemohon yang lahir karena inkonstitusional tidak dilakukannya revisi pasal penistaan agama. Oleh karenanya kerugian konstitusional Pemohon yang sebelumnya telah dijabarkan dan tertuang dalam putusan tersebut tetap ada,” jelas Zico yang masih duduk di bangku semester enam Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Selanjutnya, Zico menjabarkan bahwa dalam perkara a quo, Pemohon tidak lagi mempermasalahkan konstitusionalitas substansi pasal, namun mempermasalahkan inkonstitusionalitas tidak dilakukannya revisi terhadap Pasal 1, 2, 3, dan 4 UU Penistaan Agama. “Penundaan dari pasal a quo menimbulkan ketidakadilan terhadap orang-orang yang menjadi korban daripada ‘... peristiwa-peristiwa main hakim sendiri atau persekusi ...” (vide halaman 33 Putusan Nomor 76/PUU-XVI/2018 maupun korban daripada “...kesalahan penafsiran dalam praktik...’ (vide halaman 304 – 305 Putusan Nomor 140/PUU-VII/2009) sehingga telah mencerminkan legal maxim justice delayed is justice denied,” terang Zico.
Selanjutnya, Zico menekankan mendesaknya dilakukan revisi UU Penistaan Agama karena inkonstitusionalitas tidak dilakukannya revisi oleh pembentuk undang-undang. Sehingga bertentangan dengan prinsip negara hukum dan juga tidak memberikan perlindungan hukum yang adil. Dengan demikian, melalui petitum Pemohon meminta Mahkamah menyatakan Pasal 1, Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4 UU Penistaan Agama tetap konstitusional sepanjang dilakukan perubahan dalam jangka waktu paling lama tiga tahun.
Pembentuk Undang-Undang
Menanggapi perkara ini, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menyampaikan perlunya Pemohon memperhatikan program legislasi nasional yang merupakan wilayah pembentuk undang-undang. Hal ini terkait dengan revisi undang-undnag yang dimintakan Pemohon dalam perkara a quo. “Setelah membaca permohonan, ini lebih kepada permintaan penyegeraan dilakukannya revisi undang-undang. Adapun alasan permohonannya, bisakah Pemohon menjabarkan lebih jauh lagi untuk meyakinkan Mahkamah bahwa dengan belum dilaksanakannya perubahan UU oleh pembuat Undang-undang ini akan terkait dengan permasalahan konstitusionalitas?” tanya Enny.
Hal senada juga disampaikan oleh Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Saldi Isra, yang pada hakikatnya, meminta agar Pemohon memberikan kerangka berpikir yang benar-benar bisa meyakinkan Mahkamah bahwa batas waktu tertentu dalam melakukan revisi UU apabila tidak dilaksanakan akan menjadi inkonstitusional.
Sebelum menutup sidang, Enny mengingatkan Pemohon apabila ingin menyempurnakan permohonan untuk menyerahkan perbaikan selambat-lambatnya pada Rabu, 6 Februari 2019 pukul 10.00 WIB ke Kepaniteraan MK. (Sri Pujianti/LA)