Ahli Pemerintah Tak Hadir, Uji UU Praktik Kedokteran Ditunda
Senin, 14 Januari 2019
| 16:05 WIB
Sidang lanjutan perkara Pengujian UU Praktik Kedokteran, Senin (14/1) di Ruang Sidang Pleno Gedung MK. Foto Humas/Ganie.
Mahkamah Konstitusi kembali menggelar sidang lanjutan pengujian Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (UU Praktik Kedokteran) pada Senin (14/1/2019) di Ruang Sidang Pleno MK. Namun pada persidangan yang diagendakan mendengarkan keterangan Ahli Presiden/Pemerintah ini, pihak Kementerian Kesehatan RI melalui surat menyatakan belum dapat menghadirkan ahli yang dimaksud.
“Untuk itu, sidang ditunda hingga Senin, 28 Januari 2019 pukul 11.00 WIB. Dan apabila masih belum bisa memberikan keterangan, maka dianggap tidak menggunakan haknya atau dapat juga memberikan keterangan tertulis,” jelas Ketua MK Anwar Usman yang memimpin sidang didampingi delapan hakim konstitusi lainnya.
Perkara yang teregistrasi Nomor 80/PUU-XVI/2018 ini dimohonkan 36 orang perseorangan warga negara yang terdiri atas dosen, pensiunan dosen, dan guru besar bidang kedokteran. Para Pemohon menyatakan Pasal 1 angka 12 dan angka 13 serta Penjelasan Pasal 1, Pasal 29 ayat (3) huruf d serta Penjelasan, serta Pasal 28 ayat (1) UU Praktik Kedokteran berpotensi merugikan hak konstitusional para Pemohon. Dalam dalilnya para Pemohon menyatakan Pasal 1 angka 12 UU Praktik Kedokteran pada pengertian frasa “Ikatan Dokter Indonesia” menilai pasal tersebut ditafsirkan secara sempit semata-mata sebagai Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB-IDI) untuk tingkat nasional.Padahal menurut para Pemohon dalam lingkungan IDI terdapat beberapa majelis yang sifatnya otonom, seperti Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK), Majelis Pengembangan Pelayanan Keprofesian (MPPK), dan Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia (MKKI). Pengertian IDI pada pasal tersebut dinilai menempatkan majelis-majelis tersebut menjadi subordinat dari PB-IDI. Khususnya pula bagi Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia (MKKI) yang berakibat pada kesewenangan PB-IDI untuk campur tangan dalam bidang akademis/pendidikan dokter.
Dampak negatif dari pasal-pasal tersebut apabila tidak dikoreksi akan menjadikan PB IDI menguasai atau mengendalikan bidang kedokteran dari hulu hingga ke hilir karena tidak terbinanya mekanisme check and balances di antara lembaga-lembaga dalam lingkungan IDI sebagaimana dipraktikkan senior-senior IDI pada masa-masa sekitar tahun 2000. Untuk itu, para Pemohon meminta kepada Majelis Hakim Konstitusi agar menyatakan konstitusional bersyarat terhadap pasal-pasal yang diujikan. (Sri Pujianti/LA)