Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perbaikan permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) pada Senin (7/1/2019) siang. Permohonan yang teregistrasi dengan nomor 101/PUU-XVI/2018 ini diajukan oleh Ester Fransisca Nuban yang diwakili Marthen Boiliu selaku kuasa hukum.
Marthen menjelaskan telah memperbaiki permohonan sesuai dengan saran perbaikan yang disampaikan pada sidang sebelumnya. “Kami sudah memperbaiki sistematika permohonan sesuai dengan nasehat Yang Mulia pada sidang pendahuluan. Pemohon sependapat dengan Majelis Hakim MK soal sistematika permohonan,” kata Marthen Boiliu kepada Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua Panel Enny Nurbaningsih.
Pada sidang pemeriksaan pendahuluan, Panel Hakim menilai sistematika permohonan Pemohon tidak ringkas dan banyak pengulangan. Selain itu, Panel Hakim menyarankan Pemohon agar meringkas, dibuat dengan sistematika yang sudah diatur Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) dan dibuat agar supaya hakim gampang mencerna, memahami keinginan Pemohon. Selain memperbaiki sistematika permohonan, Pemohon kembali mempertegas permohonannya. Pengujian undang-undang yang dilakukan Pemohon, bukan sekadar disebabkan berbagai persoalan dalam pekerjaan Pemohon. Lebih dari itu, permohonan Pemohon lebih mempersoalkan kerugian hak konstitusionalitas Pemohon. Maksud dan tujuan permohonan Pemohon, adalah untuk menegaskan kerugian konstitusional Pemohon dengan berlakunya Pasal 156 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Pemohon merasa diperlakukan secara sewenang-wenang oleh perusahaan tempatnya bekerja akibat berlakunya pasal a quo.
Sebagaimana diketahui, Ester sebagai karyawati PT. Asih Eka Abadi (AEA) Jakarta selama 24 tahun, menguji Pasal 168 ayat (1) dan Pasal 156 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Hingga Pemohon dipanggil menghadap di bagian HRD perusahaan AEA dan diminta menandatangani Surat Peringatan Pertama (SP1) yang isinya terkait terlambat masuk kerja dan mangkir selama 3 hari pada Agustus 2018. Namun Pemohon menolak menandatangani SP1 karena perusahaan AEA tidak memiliki cukup alasan untuk memberi SP1 terhadap Pemohon.
Pemohon telah meminta izin tertulis terlebih dahulu kepada atasan langsung untuk urusan pengobatan dan perawatan anak di salah satu rumah sakit di Bekasi. Bukti pengobatan dan perawatan anak Pemohon telah diserahkan kepada atasan langsung pada saat masuk kerja.
Meskipun Pemohon telah meminta izin tertulis terlebih dahulu kepada atasan langsung, lanjut Marthen, tetapi gaji Pemohon pada Agustus 2018 dipotong sebesar Rp 453.416,00 sebagaimana tercantum di dalam slip gaji Agustus 2018. Dengan demikian menurut Pemohon, perusahaan tidak memiliki cukup alasan untuk menjatuhkan sanksi SP1 kepada Pemohon. Oleh karenanya, Pemohon menolak mendatangani SP1, termasuk nanti SP2 dan SP3 dari perusahaan AEA. (Nano Tresna Arfana/LA)