Isu terkait pembubaran partai politik (parpol) menjadi diskusi yang menarik saat Mahkamah Konstitusi (MK) menerima kunjungan 96 mahasiswa hukum UIN Syarif Hidayatullah, pada Jumat (21/12).
Sebuah pertanyaan diajukan mahasiswa bernama Perdana mengenai mengapa Pemohon dalam pengajuan pembubaran partai politik mesti dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat biasa tidak dapat melakukannya. Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menyatakan parpol bisa dibubarkan karena beberapa alasan, yakni ideologi atau asasnya bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Pemohon yang dapat mengajukan adalah Pemerintah yang dapat diwakili melalui kejaksaan. "Sejauh ini MK belum pernah menerima kasus ini," jelasnya selaku narasumber diskusi tersebut.
Terkait alasan Pemerintah yang menjadi Pemohon, Wahiddudin tidak mau berkomentar terlalu dalam karena berbenturan dengan dirinya selaku hakim MK. Ia pun mempersilakan Peneliti MK Bisariyadi untuk memberikan pandangan secara akademis.
Bisar menyatakan secara common sense, pemberi izin pembentukan parpol adalah Pemerintah sehingga ketika mesti dibubarkan, maka yang dapat melakukan dari Pemerintah juga. Namun, kata dia, hal ini bukannya tanpa resiko sebab kasus di Turki menunjukkan hal yang negatif.
"Disana banyak terjadi pembubaran parpol. Jadi, misal ada parpol yang dirasa mengancam pemerintah, akan dibubarkan MK," jelasnya di Ruang Delegasi MK. Artinya kewenangan ini punya potensi diselewengkan seperti di Turki, pemerintahan kala itu "mengkondisikan" MK untuk kepentingan politik mereka.
Meski demikian, Bisar mengungkap perubahan tren, yakni mekanisme pembubaran parpol mekanismenya lebih dipersulit. Sebab sejalan dengan kebebasan dan penghormatan pada hak setiap orang untuk berpolitik dan berpendapat. Selain pertanyaan tersebut, adapula pertanyaan mengenai mekanisme seleksi calon hakim MK di DPR, presiden, serta Mahkamah Agung (MA).
Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menyatakan setiap lembaga memiliki mekanisme yang berbeda. Secara teknis, tidak ada pengaturan termuat di peraturan tertentu seperti peraturan presiden (perpres) atau peraturan pemerintah (PP).
“Misal di MA, modelnya langsung penunjukan dan berasal dari hakim karier. Sedangkan di DPR dan Presiden, terkadang mekanismenya ada pembentukan panitia seleksi (pansel) tetapi tidak mesti. Setelah keluar nama dari seleksi pansel, biasanya langsung ditetapkan dari nama yang ada,” ujarnya.
Di sisi lain, Wahiddudin pun menjelaskan sedikit terkait peran dan fungsi MK dalam kehidupan bernegara. MK, kata dia, memiliki empat kewenangan dan satu kewajiban berdasar UUD 1945. “Kewenangan MK, yaitu menguji undang-undang terhadap UUD 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan hasil pemilihan umum. Sementara kewajiban MK adalah membuat putusan terkait dugaan pelanggaran yang dilakukan presiden dan/atau wakil presiden,” ujarnya.
Wahiduddin pun menyatakan MK adalah lembaga yang transparan sehingga publik dapat mengawasi sepak terjang lembaga ini dari sisi apapun. MK, kata dia, menerapkan transparansi dan keterbukaan ke publik melalui akses informasi yang mudah pada masyarakat, misal melalui info info yang terpampang di laman lembaga. (Arif Satriantoro/LA)