Kurniawan selaku kuasa hukum Pemohon uji Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) menyampaikan sejumlah perbaikan permohonan pada sidang lanjutan, Rabu (19/12). Dalam sidang perbaikan tersebut, Pemohon memperbaiki sejumlah objek permohonan.
“Objeknya tetap, hanya saja frasanya kita tambah, Yang Mulia. Yang semula hanya jenjang pendidikan dasar menjadi sepanjang frasa minimal pada jenjang pendidikan dasar,” kata Kurniawan kepada Majelis Hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams.
Artinya, ungkap Kurniawan, frasa “minimal pada pendidikan dasar” in casu SMP sederajat dalam pasal a quo memberikan kesempatan bagi negara untuk lepas tanggung jawab atau kewajiban terhadap pendidikan bagi anak-anaknya kelak hingga usia 18 tahun. “Hal ini yang menyebabkan para Pemohon merasa kehilangan kepastian hukum akan jaminan negara akan masa depan pendidikannya kelak dan tentunya sang anak tersebut akan terancam putus sekolah dan tidak memiliki masa depan yang jelas,” ujar Kurniawan.
Dikatakan Kurniawan, bagaimanapun tidak ada yang bisa memastikan sebagai orangtua dapat terus mendampingi anaknya untuk membiayai pendidikan sang anak hingga anak tersebut telah berusia dewasa. Hal ini bisa saja disebabkan faktor ekonomi yang tidak satu orang pun bisa memastikan ke depan atau faktor para Pemohon sebagaimana manusia yang pasti suatu saat ajal menjemput.
“Secara fitrah, setiap manusia akan menghadapinya. Tentu selama hayat dikandung badan sebagai seorang ibu, jiwa raga, darah, dan air mata akan dikorbankan guna kepentingan anaknya. Namun, para Pemohon khawatir andai kondisi di atas terjadi dan ketika itu anak-anaknya belum dewasa atau belum menyelesaikan pendidikannya hingga usia in casu SMA sederjat, maka anaknya terancam putus sekolah karena negara tidak mewajibkan dirinya untuk membiayai anaknya hingga tamat SMA sederajat atau menyelesaikan pendidikan pada usia yang tergolong anak,” urai Kurniawan.
Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 97/PUU-XVI/2018 ini diajukan oleh Andi Irmanputra Sidin selaku pakar hukum tata negara. Pemohon menguji Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Sisdiknas sepanjang frasa “jenjang pendidikan dasar”. Menurut Pemohon, UU Sisdiknas yang menyatakan, “Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya”. Wajib belajar yang dibiayai oleh Pemerintah hanya sampai bentuk SD/sederajat dan SMP/Sederajat, karena memaknai pasal ini hanya merujuk pada bentuk jenjang pendidikan dasar dalam (Pasal 17 ayat (2) UU Sisdiknas), padahal seharusnya merujuk minimal bentuk SMA/Sederajat (pasal 169 huruf r UU Pemilu), agar sesuai dengan syarat menjadi calon Presiden/Wakil Presiden ataupun pemimpin negara lainnya yang dipilih secara langsung.
Pemohon berdalih hal ini berarti hanya anak-anak dari golongan yang mampu melanjutkan pendidikan sampai bentuk SMA/sederajat, yang masih berkesempatan mewujudkan mimpinya untuk menjadi calon Presiden/Wakil Presiden kelak di saat mereka dewasa. Sementara anak-anak dari golongan yang tidak mampu harus membunuh mimpinya untuk memiliki kesempatan yang sama atau persamaan di hadapan hukum dan pemerintahan untuk menjadi calon Presiden/Wakil Presiden. Karena frasa jenjang pendidikan dasar dalam Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Sisdiknas yang diwajibkan dan wajib dibiayai oleh negara, hanya dimaknai sampai bentuk SMP sederajat. Sementara syarat calon presiden dan wakil presiden negara mewajibkan syarat pendidikan minimal SMA atau sederajat, tidak memberikan jaminan persamaan di hadapan hukum dan pemerintahan terhadap seluruh golongan anak-anak.
Selain itu, Pemohon mendalilkan dikarenakan anak-anak belum cakap bertindak secara hukum, maka Pemohon berinisiatif mengajukan perkara tersebut. Oleh karena itu, lanjut Iqbal, sebagai ahli hukum tata negara yang merupakan komponen masyarakat yang mempunyai pengalaman dan pengetahuan secara spesifik terhadap konstitusi, Pemohon memiliki kewajiban dan tanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak, hak untuk kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, termasuk pemenuhan hak atas pendidikan. Sebagaimana telah ditegaskan dalam Pasal 20 dan Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Anak. (Nano Tresna Arfana/LA)