Kewenangan penggabungan tindak pidana sebagaimana tercantum dalam Pasal 63, Pasal 64, serta Pasal 65 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana merupakan kewenangan Kejaksaan (dominus litis). Hal ini disampaikan oleh Eva Achjani Zulfa selaku Ahli yang dihadirkan oleh Kepolisian RI dalam sidang uji konstitusionalitas KUHAP dan KUHP yang diajukan terpidana kasus Bank Century Robert Tantular, Kamis (20/12).
Dalam permohonan Nomor 84/PUU-XVI/2018 tersebut, Robert Tantular melakukan uji formil dan materiil Pasal 272 KUHAP serta Pasal 63, 64, dan 65 KUHP. Rumusan norma dalam pasal-pasal tersebut bagi Pemohon tidak mencerminkan rasa keadilan hukum dan kemanfaatan. Sebab pemberlakuannya menyebabkan Pemohon menjalani hukuman pidana melebihi aturan.
Menanggapi permohonan tersebut, Eva menyebut isu gabungan tindak pidana atau kewenangan kejaksaan di dalam menggabungkan tindak pidana tercantum dalam Pasal 141 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. “Ini adalah bagian dari kewenangan 7 dominus litis jaksa di dalam memutuskan. Jadi, di dalam gambar ini saya ingin sampaikan bahwa kalau kita mau mempermasalahkan masalah gabungan tindak pidana yang berjalan pada fase prajudikasi dan ajudikasi, kita bicara Pasal 141 KUHAP, sementara Pasal 272 sesungguhnya berada dalam fase purnaajudikasi atau pascaajudikasi,” paparnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman.
Selain itu, Eva menyebut permasalahan yang dipersoalkan Pemohon bukan mengenai konstitusionalitas norma. Akan tetapi, lanjutnya, permasalahan tersebut mengenai penerapan ketentuan itu. Ia juga menjelaska bahwa pasal-pasal yang dimohonkan Pemohon sudah membatasi secara baik, baik dalam konteks hak asasi manusia, kepastian hukum, maupun dalam konteks pelaksanaan penjatuhan pidana berdasarkan ketentuan asas legalitas. “Oleh karena itu, Majelis Hakim, berdasarkan apa yang saya sampaikan di atas, maka sebetulnya permasalahan bukan terletak pada norma yang dikatakan sebagai unconstitutional condition di dalam gugatan Pemohon, hanya semata-mata kepada konteks penerapan hukum terhadap norma itu yang bermasalah di lapangan,” tegasnya.
Perbarengan Perbuatan
Sementara Pakar Hukum Pidana Eddy O.S Hiariej yang juga dihadirkan Polri menjelaskan terkait ketentuan Pasal 272 KUHP. Menurutnya, ketentuan Pasal 272 KUHP hanya diperuntukkan dalam konteks perbarengan perbuatan. Artinya, pasal tersebut tidak diperuntukkan bagi perbarengan peraturan, perbarengan penentuan, maupun perbuatan berlanjut. Selain itu, ia menegaskan tindak pidana perbarengan yang dimaksud dalam pasal tersebut hanyalah sebatas perbarengan perbuatan dengan ancaman pidana pokok yang sejenis. Konsekuensi dari perbarengan perbuatan dengan ancaman pidana pokok yang sejenis, maka sanksi penerapan pidana yang digunakan hanyalah kumulasi sederhana atau kumulasi tidak terbatas. “Sebab kalau kumulasi terbatas, maka ancaman pidana pokoknya tidak sejenis. Hal ini karena kedua stelsel penerapan pidana tersebut yang mengatur perihal ancaman pidana pokok yang sejenis,” jelasnya.
Dalam praktik penegakan hukum, Hiariej melanjutkan penerapan Pasal 272 KUHAP harus tetap memerhatikan Pasal 71 KUHP yang membatasi penjatuhan pidana, sehingga tidak melanggar prinsip-prinsip sanksi penerapan pidana dalam perbarengan. Kemudian, lanjutnya, jika terpidana telah mendapat hukuman maksimal dalam perbarengan perbuatan, kemudian diadili kembali atas perbuatan pidana tertinggal, maka hakim cukup menyatakan perbuatan terdakwa terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah atas perbuatan tersebut tanpa diikuti oleh suatu pemidanaan. “Dengan demikian, kontrol terhadap Pasal 71 KUHP juncto Pasal 272 KUHAP sepenuhnya ada terletak pada tangan hakim, bukan pada penuntut umum, maupun kepolisian,” jelasnya. (Lulu Anjarsari)