Mahkamah Konstitusi kembali menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) di Ruang Sidang Panel MK pada Rabu (19/12). Permohonan Nomor 98/PUU-XVI/2018 ini dimohonkan Muhammad Hafidz, yang pernah menjadi calon perseorangan anggota DPD Pemilu 2014.
Pada sidang kedua ini, Hafidz menyampaikan perbaikan berupa norma pengujian yang pada awalnya berupa Pasal 57 ayat (1) UU MK sepanjang frasa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang menjadi Pasal 57 ayat (1) secara keseluruhan. Selain itu, Hfidz juga menambahkan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 sebagai batu uji.
“Pasal tersebut saya tambahkan karena putusan Mahkamah yang sudah pernah menguji Pasal 57 ayat (1) dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Jadi, khawatir nanti perkaranya nebis in idem,” jelas Hafidz di hadapan sidang yang dipimpin Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna dengan didampingi Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul dan Saldi Isra.
Berkaitan dengan adanya perubahan batu uji, Pemohon juga menyempurnakan kedudukan hukum dirinya yang berkait dengan Putusan Perkara Nomor 30/PUU-XVI/2018 tidak mendapatkan kepastian bahwa lembaga DPD betul-betul harus bersih dari pengurus partai politik.
Melawan Hukum
Berikutnya, Hafidz yang hadir tanpa didampingi kuasa hukum menyatakan pula alasan permohonan perkara tersebut pun berubah karena apabila KPU yang sudah diberi kewenangan oleh UUD 1945 untuk melaksanakan pemilu, kemudian hanya melakukan satu putusan di antara tiga putusan pengadilan—Putusan MK, Putusan MA, dan Putusan PTUN—maka KPU akan dikualifisir sebagai perbuatan melawan hukum. “Dari kerangka berpikir itu, Pemohon bertanya apakah terhadap tindakan yang dalam rangka melaksanakan putusan MK denganmengabaikan putusan pengadilan lain. Menurut Pemohon, belum ada satu klausul dalam UU MK tentag hal tersebut,” jelas Hafidz.
Untuk itu, Pemohon melalui perubahan Petitum memohonkan agar Mahkamah menyatakan pasal yang diujikan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘siapa pun yang dalam menjalankan wewenangnya yang diberikan oleh ketentuan perundang-undangan dengan disertai iktikad baik karena dalam rangka menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana’.
Sebelumnya Pemohon menyampaikan adanya ketidakpastian hukum dari substansi Pasal 57 ayat (1) UU MK yang terjadi akibat maksud di dalamnya hanya ditujukan pada muatan materi ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang yang oleh MK dalam putusannya telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Selain itu, Pemohon mengakui sebelumnya pernah mengajukan perihal cita-cita pembentukan DPD sebagai representatif daerah dan bukan perwakilan partai politik. Dalam hal ini, dirinya telah mendapatkan kepastian hukum melalui Putusan MK Nomor 30/PUU-XVI/2018 pada tanggal 23 Juli 2018 yang menyatakan frasa pekerjaan lain harus dimaknai mencakup pula pengurus partai politik. Terhadap putusan tersebut KPU menerbitkan Peraturan KPU Nomor 26 Tahun 2018 yang menegaskan syarat pengunduran diri bagi bakal calon anggota DPD dari kepengurusan partai politik. Kemudian, terdapat bakal calon anggota DPD yang keberatan dan mengajukan permohonan pengujian ke MA dalam Perkara Nomor 65 Tahun 2018. Setelah MA menerbitkan putusan, kemudian disusul pula oleh Putusan Pengadilan Tata Usaha Negeri Jakarta. Menurut Pemohon, kedua putusan tersebut seolah-olah mengingkari putusan MK yang telah terlebih dahulu memberikan syarat keharusan mengundurkan diri bagi bakal calon anggota DPD yangberasal dari pengurus parpol.
Sebelum menutup persidangan, Palguna mengesahkan bukti perkara yang diserahkan Pemohon dan meminta agar Pemohon menunggu kabar kelanjutan persidangan dari Kepaniteraan MK. (Sri Pujianti/LA)