Penegakan hukum merupakan gabungan dari beberapa sistem yang saling terkait. Di dalamnya terdapat tiga unsur penting yang menentukan keberhasilan penegakan hukum tersebut, yaitu administrasi hukum (administration of law), penerapan hukum (enforcement of law) dan pembuatan hukum (the making of the law). Penegakan hukum tidak dapat berlangsung dengan baik apabila salah satu dari ketiga unsur itu tidak berjalan. Polisi sebagai salah satu komponen dalam penegakan hukum juga harus didengar pendapatnya karena tanpa melakukan hal tersebut, maka para pembuat hukum tidak akan tahu bagaimana hukum yang telah dibuat tersebut diterapkan.
Hal tersebut merupakan salah satu inti yang disampaikan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Jimly Asshiddiqie, di hadapan para peserta Sekolah Staf dan Perwira Administrasi Tingkat Tinggi Polri (SESPATI-Polri) yang melakukan kunjungan ke MK pada Kamis (3/4) pagi. Kunjungan peserta pendidikan tertinggi di lingkungan Kepolisian Indonesia ini dimaksudkan untuk meningkatkan pemahaman para peserta tentang Mahkamah Konstitusi dalam kaitannya dengan penegakan hukum.
Meskipun unsur-unsur yang terkait dalam penegakan hukum diharapkan saling bersinergi dan bekerjasama, independensi atau kemandirian setiap unsur tidak boleh diabaikan. âIndependensi polisi tidak boleh digabungkan dengan independensi jaksa atau independensi hakim. Akan tetapi semua harus bersinergi, tukar pikiran, melakukan konsolidasiâ ujar Jimly.
Jimly juga mengingatkan bahwa kondisi masyarakat Indonesia semakin hari semakin kompleks. Terdapat banyak kepentingan dalam masyarakat yang saling berbeda satu dengan lainnya. Oleh karenanya, hukum tidak akan dapat memuaskan semua pihak. Keadilan hanya akan dapat dilaksanakan jika para pembuat hukum dapat menangkap intisari kehidupan. âHarus ada kearifan dalam pembuatan dan penegakan hukum. Sehingga kalaupun ada penyimpangan hukum, ada ukuran keadilannya,â tambahnya lagi.
Hal tersebut juga tidak terlepas dari kenyataan bahwa banyak ide-ide hukum di Indonesia yang âdiimporâ dari luar negeri. âBahkan ide DPR sendiri merupakan ide dari Belanda yang mendirikan volksraad,â jelas Jimly. Sementara kita menyerap ide-ide hukum dari negara lain, dunia perilaku kita merupakan sesuatu yang diwariskan secara turun temurun. Kedua hal ini pada akhirnya menimbulkan adanya kesenjangan (discrepancy) karena kita belum berhasil membuat jembatan antara tradisi dengan lembaga yang kita miliki
Dampak perubahan hukum
Selain berbicara mengenai penegakan hukum, Jimly juga menjelaskan perubahan besar yang terjadi di dunia hukum Indonesia yang berawal dari perubahan UUD 1945. Menurut Jimly, perubahan yang dilakukan terhadap UUD 1945 pada era 1999-2002 merupakan hal yang sangat serius dan mendasar yang menyebabkan terjadinya reformasi sistem hukum dan ketatanegaraan di Indonesia. Dalam ilmu hukum, sambungnya, perbedaan penggunaan tanda baca dan huruf kapital dapat memberikan perbedaan yang sangat besar dalam segi arti. Sehingga dapat dibayangkan apabila perubahan tersebut dilakukan terhadap substansi hukum hingga 300 persen seperti yang terjadi dengan UUD 1945.
Akan tetapi, Jimly mengatakan bahwa perubahan di dunia hukum, khususnya di Indonesia, terkadang masih tidak banyak diketahui dan dipahami oleh masyarakat. Sehingga diperlukan proses penyebarluasan dan sosialisasi yang terus menerus kepada masyarakat. Selain itu, tambahnya, hasil dari perubahan tersebut harus terus dikawal agar dapat diimplementasikan dan memberi manfaat bagi masyarakat.
âPerubahan tidak selesai hanya dengan ditulis tapi (juga) harus disosialisasikan, sehingga masyarakat mengerti karena UUD merupakan kontrak sosial. Oleh karena itulah Mahkamah Konstitusi dibentuk, agar konstitusi tidak hanya di atas kertas,â papar Jimly.
Jimly merasa rakyat harus mengetahui dan memahami konstitusi karena ia merupakan dokumen kontrak yang mengikat seluruh warga negara. Selain itu, tambahnya, konstitusi juga diperlukan untuk melaksanakan hak dan kewajiban negara (state) dan warganya (citizen).
âAda tiga hal penting yang diperlukan agar rakyat memahami konstitusi. Yang pertama adalah teks konstitusi itu sendiri, pemahaman umum tentang teks tersebut, serta perilaku kolektif yang dituntut memenuhi idealisme dalam teks. Harus dibangun jarak yang semakin dekat sehingga menjadi leading konstitution. Kalau ini berhasil maka hukum dapat ditegakkan.â urai Jimly. (Yogi Djatnika)