Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) pada Selasa (18/12) siang. Permohonan yang teregistrasi dengan nomor 101/PUU-XVI/2018 ini diajukan oleh Ester Fransisca Nuban yang diwakili Marthen Boiliu selaku kuasa hukum.
Ester sebagai karyawati PT. Asih Eka Abadi (AEA) Jakarta menguji Pasal 168 ayat (1) dan Pasal 156 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Pemohon yang berkerja selama 24 tahun dipanggil menghadap bagian HRD perusahaan AEA dan diminta menandatangani Surat Peringatan Pertama (SP1) yang isinya terkait terlambat masuk kerja dan mangkir selama 3 hari pada Agustus 2018. Namun Pemohon menolak menandatangani SP1 karena perusahaan AEA tidak memiliki cukup alasan untuk memberi SP1 terhadap Pemohon.
“Pemohon telah meminta izin tertulis terlebih dahulu kepada atasan langsung untuk urusan pengobatan dan perawatan anak di salah satu rumah sakit di Bekasi. Bukti pengobatan dan perawatan anak Pemohon telah diserahkan kepada atasan langsung pada saat masuk kerja,” jelas Marthen kepada Panel Hakim MK.
Meskipun Pemohon telah meminta izin tertulis terlebih dahulu kepada atasan langsung, lanjut Marthen, tetapi gaji Pemohon pada Agustus 2018 dipotong sebesar Rp453.416,00 sebagaimana tercantum di dalam slip gaji Agustus 2018. Dengan demikian menurut Pemohon, perusahaan tidak memiliki cukup alasan untuk menjatuhkan sanksi SP1 kepada Pemohon. Oleh karena itu, Pemohon menolak mendatangani SP1, termasuk nanti SP2 dan SP3 dari perusahaan AEA.
“Menurut Pemohon yang disebut mangkir ialah tidak masuk kerja tanpa keterangan dan/atau tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada perusahaan melalui atasan langsung. Karenanya dengan Pemohon telah meminta izin terlebih dahulu kepada perusahaan melalui atasan langsung, dan perusahaan AEA telah memberikan izin dan persetujuan terhadap tidak masuknya Pemohon untuk urusan yang dimaksud, maka baik perusahaan AEA maupun Pemohon telah setuju bersepakat. Sehingga kesepakatan tersebut merupakan dasar bagi Pemohon untuk tidak dikenai sanksi apa pun dari perusahaan atas izin yang diberikan kepada perusahaan AEA,” papar Marthen.
Namun meskipun demikian, kata Marthen, perusahaan tetap memotong upah gaji Pemohon di bulan Agustus 2018 sebesar Rp453.416,00 atas izin tersebut dan Pemohon tidak menolak. Tetapi sampai kepada Perusahaan AEA menjatuhkan sanksi lagi kepada Pemohon atas izin yang diberikan kepada Pemohon untuk urusan tersebut berupa sanksi SP1 terhadap Pemohon, karenanya Pemohon menolak menandatangani SP1 tersebut.
“Dalam kaitan tersebut, pada asasnya seseorang dilarang dijatuhi dua kali sanksi untuk satu perbuatan yang sama (asas nebis in idem) dan lagipula, menandatangani menerima SP1 tersebut sama halnya dengan mengakui suatu perbuatan yang tidak salah menjadi salah. Dimana pengakuan yang diberikan secara tegas dan terang merupakan bukti yang memiliki kekuatan hukum, mutlak dan sempurna menurut hukum,” ungkap Marthen.
Dalam ketentuan Pasal 66 ayat (2) Peraturan Perusahaan AEA periode 2017-2019 menentukan bahwa setiap karyawan yang mendapat surat peringatan tertulis, wajib menandatangani surat peringatan tersebut. Namun, meskipun demikian Pemohon menolak menandatangani SP1 tersebut, bahkan SP2 dan SP3 nanti karena alasan yang patut dan menurut hukum sebagaimana dikemukakan di atas. Dengan demikian, hanya ada satu jalan terbuka bagi Pemohon yaitu skorsing, mengingat baik peraturan perundangan maupun yang berlaku di bidang ketenagakerjaan maupun Pasal 68 ayat (1) Peraturan Perusahaan AEA sendiri tidak mengatur yang dimaksud skorsing, apakah lisan atau tertulis.
“Sehingga jika Pemohon dijatuhi skorsing secara lisan, maka akan sulit bagi Pemohon untuk membuktikan ketidakhadiran selama skorsing lisan tersebut yang dengan jalan demikian menjadi celah Pemohon dapat dianggap mangkir lima hari berturut-turut atau lebih oleh perusahaan dan dengan jalan demikian. Terbuka bagi perusahaan menerbitkan surat peringatan pertama dan kedua secara patut dan tertulis, sesuai ketentuan Pasal 168 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang dimohonkan pengujian. Yang kalaupun Pemohon datang memenuhi panggilan secara patut dan tertulis dari perusahaan, hal itu tidak akan dapat menghalangi perusahaan untuk mem-PHP Pemohon tanpa membayar hak-hak Pemohon yang diatur dan dijamin dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang ketenagakerjaan,” urai Marthen.
Kasus Konkret
Terhadap dalil-dalil Pemohon, Ketua Panel Enny Nurbaningsih menegaskan bahwa permohonan Pemohon merupakan peristiwa konkret atau kasus konkret. Hal tersebut bukanlah ranah kewenangan MK. “Memang kadang-kadang harus hati-hati dalam mengajukan permohonan. Sementara di MK ini menguji terkait dengan norma. Ketentuan undang-undang in casu di sini adalah Pasal 168 ayat (1) dan Pasal 156 ayat (2) Undang-Undang Ketenagakerjaan yang kemudian diujikan dengan konstitusi yang kemudian merupakan hak konstitusionalitas dari Pemohon untuk dilindungi di situ. Hanya karena ini kasus konkret dan belum terjadi kepada Saudara Ester sepenuhnya,” ucap Enny.
Sementara itu Hakim Konstitusi Arief menilai permohonan Pemohon tidak ringkas dan banyak pengulangan. Ia meminta agar Pemohon meringkas dan memperjelas permohonan disesuaikan dengan permohonan yang pernah masuk ke MK. “Sebetulnya ini bisa diringkas, dibuat dengan sistematika yang sudah diatur seperti PMK kdan dibuat agar supaya hakim itu gampang mencerna, memahami keinginan Pemohon. Sebaiknya permohonan ini padat, ringkas dan gampang dimengerti oleh siapa pun,” tandas Arief. (Nano Tresna Arfana/LA)