Sekretaris Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemenpppa) Pribudiarta Nur Sitepu didampingi Kepala Biro Hukum dan Humas Kemenpppa Titi Eko Rahayu menemui Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi M. Guntur Hamzah, pada Senin (17/12) di Gedung MK. Pertemuan ini guna meminta jadwal audiensi antara Ketua MK Anwar Usman dengan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yembise terkait Putusan MK Nomor 22/PUU-XVI/2018 tentang pengujian Undang-Undang Perkawinan.
Dalam kesempatan itu, Pribudiarta menyampaikan bahwa Menpppa Yohana Yembise meminta agar MK menjelaskan mengenai putusan tersebut yang membatalkan keberlakuan Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan. Terkait hal ini, Sekjen MK M. Guntur Hamzah menjelaskan sebelumnya MK pernah menolak pengujian pasal serupa dengan berbagai pertimbangan. Untuk Putusan MK kali ini, Guntur menyebut dikabulkan sebagian dikarenakan beberapa alasan, diantaranya persoalan diskriminasi. “MK juga memberi tenggat waktu selama tiga tahun kepada pembentuk UU untuk merevisi aturan tersebut,” jelasnya.
Sementara terkait permohonan agar dilakukan audiensi antara Ketua MK dengan Kemenpppa, Guntur akan mengatur waktu secepatnya agar pertemuan tersebut dapat terjadi dalam waktu dekat.
Peneliti MK Nalom Kurniawan yang hadir dalam kesempatan tersebut, menambahkan dalam pertimbangan hukumnya, MK menyebut selama jangka waktu tiga tahun, MK meminta adanya penyesuaian batas usia minimal menikah bagi perempuan dalam UU Perkawinan dengan UU Perlindungan Anak.
Pada Kamis (13/12), MK membatalkan keberlakuan aturan batas usia minimal 16 tahun bagi perempuan untuk menikah sebagaimana tercantum dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan). Hal ini ditegaskan MK dalam Putusan Nomor 22/PUU-XVI/2018 yang diajukan oleh tiga orang perempuan yang menikah di bawah umur. Dalam putusan tersebut, Mahkamah mengabulkan untuk sebagian permohonan Pemohon. Amar putusan menyatakan Pasal 7 ayat (1) sepanjang frasa “usia 16 (enam belas) tahun” Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Selain itu, Mahkamah menyatakan ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perubahan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan tersebut. Selain itu, MK memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun melakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan khususnya berkenaan dengan batas minimal usia perkawinan bagi perempuan. (Lulu Anjarsari)