Mahkamah Konstitusi (MK) menolak untuk seluruhnya permohonan yang diajukan oleh Rahman yang berprofesi sebagai Tenaga Kerja Kontrak Daerah (TK2D) Pemerintah Kabupaten Kutai Timur. Demikian Putusan Nomor 5/PUU-XVI/2018 yang menguji Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2017 tentang APBN Tahun Anggaran 2018 (UU APBN) dibacakan oleh Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi oleh delapan hakim konstitusi lainnya, pada Kamis (13/12).
Gerakan G20 Mei dan Pemohon perseorangan lainnya juga menjadi Pemohon perkara tersebut. Dalam permohonannya, Pemohon menguraikan dalam permohonannya, ketentuan a quo telah merugikan hak konstitusional para Pemohon karena tidak mendapatkan haknya sebagai masyarakat Kabupaten Kutai Timur untuk mendapatkan transfer uang dari pemerintah pusat secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang. Pemohon juga menilai, Pasal 15 ayat (3) huruf d UU APBN merupakan bentuk kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh pemerintah pusat dan telah terjadi ketidakpastian hukum yang tercermin dari seringkali terjadinya perubahan peraturan presiden mengenai rincian anggaran yang ditransfer ke daerah, tidak konsisten, tidak adil dan selaras, serta proporsional sesuai dengan perhitungan dana transfer sebagaimana diatur di dalam peraturan perundang-undangan.
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Wakil Ketua MK Aswanto, Mahkamah menegaskan bahwa ketentuan Pasal 15 ayat (3) huruf d UU APBN merupakan suatu instrumen sanksi yang fungsinya agar daerah dapat mematuhi ketentuan. Hal ini, lanjut Aswanto, merupakan bagian dari fungsi pengawasan dari pemerintah pusat terhadap pengelolaan keuangan daerah sekaligus salah satu strategi pengelolaan keuangan negara untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Ia melanjutkan sanksi demikian pastinya akan menimbulkan konsekuensi sebagai efek jera dalam pengelolaan keuangan daerah yang lebih baik dalam melaksanakan urusan-urusan yang telah diserahkan ke daerah.
“Namun konsekuensi demikian tidaklah merupakan kerugian yang bersifat konstitusional sebagaimana didalilkan oleh Pemohon, yang mengkaitkan kerugian dimaksud dengan kerugian atas hak kepastian hukum, pembangunan, pekerjaan, kesejahteraan, hidup dan penghidupan yang layak sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28A dan 28D ayat (1) UUD 1945. Pada dasarnya adanya pemotongan dan/atau penundaan sebagai salah satu mekanisme pengawasan pemerintah terhadap pelaksanaan fungsi alokasi pemerintah daerah agar dapat secara tepat, efektif dan efisien menyelenggarakan pelayanan publik, khususnya di bidang pendidikan, kesehatan dan dana desa,” terang Aswanto.
Selain itu, Mahkamah menilai instrumen sanksi kepada daerah yang diatur dalam Pasal 15 ayat (3) huruf d UU APBN merupakan salah satu bentuk dari kebijakan “hard-budgetconstraint” untuk menghindari dampak negatif dari kebijakan desentralisasi yang terlalu longgar, sehingga tujuan utama dari otonomi daerah dapat terwujud dengan baik, yakni mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat di daerah.
Terkait TKDD yang memberikan instrumen sanksi bagi daerah yang memiliki uang kas dan/atau simpanan di bank dalam jumlah yang tidak wajar maka dilakukan konversi penyaluran DBH dan/atau DAU dalam bentuk nontunai. Menurut Mahkamah, sesuai dengan amanat Konstitusi bahwa APBN, termasuk APBD, harus dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, maka jika terdapat uang kas daerah atau simpanan/tabungan daerah di bank menumpuk dalam jumlah yang tidak wajar, justru menghambat jalannya pembangunan di daerah dan pelaksanaan otonomi daerah, sehingga tidak memberikan kepastian dan perlindungan bagi masyarakat khususnya di daerah untuk dapat menikmati hasil-hasil pembangunan. Oleh karena itu adanya ketentuan instrumen sanksi tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, sehingga dalil para Pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum.
“Menimbang bahwa dengan demikian menurut Mahkamah dalil paraPemohon yang menyatakan bahwa Pasal 15 ayat (3) huruf d UU APBN inkonstitusional karena bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 18A ayat (2), Pasal 28A dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum,” tandas Aswanto.
Sementara terkait Gerakan G20 Mei, Mahkamah menilai Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum sehingga permohonan tidak dapat diterima. (Lulu Anjarsari)