Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya menolak permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama yang diajukan Zico Leonard Djagardo Simanjuntak dan Aisyah Sharifa sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
“Amar putusan mengadili, menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua Pleno Anwar Usman didampingi para hakim konstitusi lainnya dalam sidang pengucapan putusan, Kamis (13/12).
Sebelumnya, para Pemohon mendalilkan Pasal 156 dan Pasal 157 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Pasal 4 Undang-Undang Pencegahan Penodoaan Agama seolah-olah menutup mata memang terdapat perbedaan dalam beragama di Indonesia dan menderogasi hakikat agama, beribadah, dan toleransi. Di samping itu, norma yang dipersoalkan konstitusionalitasnya oleh para Pemohon tersebut tidak memiliki tujuan yang tepat dalam paradigma pemidanaan baik retributif maupun utilitarian dan justru menghalangi ibadah yang sejati umat beragama yakni untuk memberitakan kebenaran agama baik kepada mereka yang berbeda agama maupun kepada penista agama. Akibat berlakunya ketentuan norma tersebut, dapat membuat orang dengan mudahnya menuduh orang lain melakukan penistaan agama.
Mahkamah berpendapat, sebagaimana telah ditegaskan dalam putusan-putusan Mahkamah sebelumnya, Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak memberikan kemungkinan adanya kampanye kebebasan untuk tidak beragama, kebebasan untuk promosi antiagama serta tidak memungkinkan untuk menghina atau mengotori ajaran agama atau kitab-kitab yang menjadi sumber kepercayaan agama ataupun mengotori nama Tuhan. Sebaliknya, Konstitusi memberikan jaminan terkait dengan kebebasan beragama warga negaranya. Kebebasan beragama merupakan salah satu hak asasi manusia yang sangat fundamental, melekat dalam diri setiap manusia.
Pemohon mendalilkan Pasal 156 dan Pasal 157 ayat (1) KUHP serta Pasal 4 UU Pencegahan Penodaan Agama tidak memiliki tujuan yang tepat dalam paradigma pemidanaan, baik retributif maupun utilitarian dan justru menghalangi ibadah yang sejati umat beragama yakni untuk memberitakan kebenaran agama baik kepada mereka yang berbeda agama maupun kepada penista agama. Terhadap dalil tersebut, menurut Mahkamah, keberadaan Undang-Undang Pencegahan Penodaan Agama dapat dijadikan dasar untuk mencegah tindakan penyalahgunaan agama dan penodaan terhadap agama melalui tindakan administratif yang paling ringan sampai dengan tindakan administratif yang paling berat.
Menurut Mahkamah, pemidanaan terhadap penyalahgunaan agama dan penodaan/penistaan agama adalah penting karena dalam bentuk apapun, baik dilakukan perorangan maupun kelompok, penodaan dan penyalahgunaan agama adalah tindakan yang tidak dapat dibenarkan dalam pandangan hukum. Hal ini dikarenakan tidak ada orang atau lembaga manapun yang berhak melecehkan agama dan memperlakukan tidak hormat unsur-unsur keagamaan lain yang pada akhirnya menimbulkan keresahan dan kemarahan publik (Putusan Mahkamah Nomor 140/PUU-VII/2009).
Kemudian, terhadap petitum Pemohon yang meminta frasa “golongan” dalam Pasal 156 dan Pasal 157 ayat (1) KUHP dimaknai tidak termasuk golongan berdasarkan agama, Mahkamah mempertimbangkan bahwa Pasal 156 KUHP adalah ketentuan mengenai ancaman pidana yang dapat dikenakan kepada seseorang yang menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia di muka umum.
Adapun Pasal 157 ayat (1) KUHP adalah ketentuan mengenai ancaman pidana yang dapat dikenakan kepada seseorang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau lukisan di muka umum yang isinya mengandung pernyataan permusuhan, kebencian, atau penghinaan di antara atau terhadap golongan rakyat Indonesia, dengan maksud isinya diketahui atau lebih diketahui oleh umum. Pengertian golongan sebagaimana tertuang dalam Pasal 156 KUHP adalah tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat, asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara. Pengertian golongan ini berlaku bukan hanya untuk Pasal 156 KUHP namun juga terhadap pasal-pasal selanjutnya.
’’Dengan demikian menurut Mahkamah, dalil permohonan Pemohon mengenai frasa golongan dalam Pasal 156 dan Pasal 157 ayat (1) KUHP yang dimaknai tidak termasuk golongan berdasarkan agama adalah tidak beralasan menurut hukum,” tegas Hakim Konstitusi Suhartoyo terhadap Perkara No. 76/PUU-XVI/2018 ini.
Selanjutnya, Mahkamah menanggapi pengujian Pasal 4 UU Pencegahan Penodaan Agama yang juga diajukan Pemohon. Mahkamah menegaskan, permohonan a quo permasalahan konstitusionalnya pernah diajukan pengujian dan telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 140/PUU-VII/2009 bertanggal 19 April 2010 yang amar putusannya menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 84/PUU-X/2012 bertanggal 19 September 2013 yang amar putusannya menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya.
Berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat pemohonan Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 156 dan Pasal 157 ayat (1) KUHP serta Pasal 4 UU Pencegahan Penodaan Agama tidak beralasan menurut hukum. (Nano Tresna Arfana/LA)