Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan keberlakuan aturan batas usia minimal 16 tahun bagi perempuan untuk menikah sebagaimana tercantum dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan). Hal ini ditegaskan MK dalam Putusan Nomor 22/PUU-XV/2017 yang diajukan oleh tiga orang perempuan yang menikah di bawah umur. Dalam putusan tersebut, Mahkamah mengabulkan untuk sebagian permohonan Pemohon.
Ketua MK Anwar Usman yang membacakan amar putusan menyatakan Pasal 7 ayat (1) sepanjang frasa “usia 16 (enam belas) tahun” Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Selain itu, Mahkamah menyatakan ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perubahan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan tersebut.
“Memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun melakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan khususnya berkenaan dengan batas minimal usia perkawinan bagi perempuan,” jelas Anwar dalam sidang putusan yang digelar pada Kamis (13/12).
Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan juga menimbulkan pembedaan kedudukan hukum, diskriminasi terhadap anak perempuan dalam hak kesehatan, hak pendidikan, dan menimbulkan resiko eksploitasi anak. Sebelumnya, Mahkamah pernah memutus terkait uji materiil pasal yang sama, yakni dalam permohonan Konstitusi Nomor 30-74/PUU-XII/2014, bertanggal 18 Juni 2015. Dalam putusan tersebut, MK menolak permohonan tersebut dan menyatakan Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) yang tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Terkait hal tersebut, dalam pendapat Mahkamah yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Wahiddudin Adams, dalil permohonan Pemohon Nomor 22/PUU-XV/2017 berbeda dengan permohonan Nomor 30-74/PUU-XII/2014. Pemohon kali ini mendalilkan adanya diskriminatif dengan pembedaan batas usia menikah antara laki-laki dan perempuan. Mahkamah berpendapat salah satu kebijakan hukum yang dapat dikategorikan mengandung perlakuan berbeda atas dasar jenis kelamin dimaksud adalah Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan. “Hal demikian dalam putusan-putusan sebelumnya belum dipertimbangkan oleh Mahkamah dan pertimbangan demikian tidak muncul karena memang tidak didalilkan oleh para Pemohon pada saat itu,” jelas Wahiddudin.
Wahiddudin melanjutkan Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan dikatakan diskriminatif dikarenakan dengan adanya pembedaan batas usia minimum perkawinan yang termuat di dalamnya telah menyebabkan perempuan menjadi diperlakukan berbeda dengan laki-laki dalam pemenuhan hak-hak konstitusionalnya, baik hak-hak sipil dan politik maupun hak-hak ekonomi, sosial, dan kebudayaan. Pembedaan tersebut terjadi semata-mata karena jenis kelamin.
“Hak-hak konstitusional dimaksud, antara lain, hak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena secara hukum seorang perempuan pada usia 16 tahun yang menurut Undang-Undang Perlindungan Anak masih tergolong ke dalam pengertian anak, jika telah kawin akan berubah statusnya menjadi orang dewasa, sementara bagi laki-laki perubahan demikian baru dimungkinkan jika telah kawin pada usia 19 tahun,” terang Wahiddudin.
Diskriminasi Hak
Selanjutnya, Hakim Konstitusi Saldi Isra melanjutkan pengaturan batas usia minimal perkawinan yang berbeda antara laki-laki dan perempuan tidak saja menimbulkan diskriminasi dalam konteks pelaksanaan hak untuk membentuk keluarga sebagaimana dijamin dalam Pasal 28B ayat (1) UUD 1945, melainkan juga telah menimbulkan diskriminasi terhadap perlindungan dan pemenuhan hak anak sebagaimana dijamin dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945. Dalam hal ini, lanjut Saldi, ketika usia minimal perkawinan bagi perempuan lebih rendah dibandingkan laki-laki, maka secara hukum perempuan dapat lebih cepat untuk membentuk keluarga. “Hal demikian berbeda dengan batas usia minimal perkawinan bagi laki-laki yang mengharuskan menunggu lebih lama dibandingkan perempuan,” imbuh Saldi.
Di samping itu, Saldi memaparkan perbedaan batas usia minimal tersebut memberi ruang lebih banyak bagi anak laki-laki untuk menikmati pemenuhan hak-haknya sebagai anak karena batas usia kawin minimal laki-laki yang melampaui usia minimal anak sebagaimana diatur dalam UU Perlindungan Anak. “Sementara bagi perempuan, pembatasan usia minimal yang lebih rendah dibanding usia anak justru potensial menyebabkan anak tidak sepenuhnya dapat menikmati hakhaknya sebagai anak dalam usia anak,” jelasnya.
Kebijakan Hukum Terbuka
Saldi juga menegaskan sikap Mahkamah, bahwa sekalipun ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan merupakan kebijakan hukum yang diskriminatif atas dasar jenis kelamin, namun tidak serta-merta Mahkamah dapat menentukan batas usia minimal perkawinan seperti petitum Pemohon yang menginginkan batas usia 19 tahun. Mahkamah, lanjut Saldi hanya menegaskan bahwa kebijakan yang membedakan batas usia minimal perkawinan antara laki-laki dan perempuan adalah kebijakan yang diskriminatif, namun penentuan batas usia perkawinan tetap menjadi ranah kebijakan hukum pembentuk undang-undang.
Apabila Mahkamah memutuskan batas minimal usia perkawinan, Saldi menyebut hal itu justru akan menutup ruang bagi pembentuk undang-undang di kemudian hari untuk mempertimbangkan lebih fleksibel batas usia minimal perkawinan sesuai dengan perkembangan hukum dan perkembangan masyarakat. Oleh karena itu, Mahkamah memberikan waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) tahun kepada pembentuk undang-undang untuk sesegera mungkin melakukan perubahan kebijakan hukum terkait batas minimal usia perkawinan, khususnya sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan. “Sebelum dilakukan perubahan dimaksud, ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU 1/1974 masih tetap berlaku,” tegasnya.
Harmonisasi
Selain itu, Saldi mengemukakan apabila dalam tenggang waktu tersebut pembentuk undang-undang masih belum melakukan perubahan terhadap batas minimal usia perkawinan yang berlaku saat ini, demi untuk memberikan kepastian hukum dan mengeliminasi diskriminasi yang ditimbulkan oleh ketentuan tersebut, maka batas minimal usia perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan diharmonisasikan dengan usia anak sebagaimana diatur dalam UU Perlindungan Anak dan diberlakukan sama bagi laki-laki dan perempuan.
“Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, dalil permohonan Pemohon sepanjang ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU 1/1974 telah menimbulkan diskriminasi atas dasar jenis kelamin atau gender yang berdampak terhadap tidak terpenuhinya hak anak perempuan sebagai bagian dari hak asasi manusia yang dijamin dalam UUD 1945 adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian,” tutup Saldi. (Lulu Anjarsari)