Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan keberlakuan aturan pengenaan pajak penerangan jalan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 28, Pasal 52 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 55 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah (UU PDRD). Demikian Putusan Nomor 80/PUU-XV/2017 yang dimohonkan oleh Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) dibacakan oleh Ketua MK Anwar Usman didampingi oleh delapan hakim konstitusi lainnya dalam sidang yang digelar pada Kamis (13/12) siang.
“Amar putusan mengadili, mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian. Menyatakan Pasal 1 angka 28, Pasal 52 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 55 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat,” papar Anwar membacakan amar putusan.
Dalam permohonannya, APINDO mendalilkan Pasal 1 angka 28, Pasal 52 ayat (1), dan Pasal 52 ayat (2) UU PDRD tidak memberikan jaminan kepastian hukum yang adil. Pemohon beralasan keberadaan Pemohon dalam menyediakan pasokan “listrik” seharusnya diapresiasi oleh pemerintah, bukan malah dibebankan pajak penerangan jalan. Selain itu, Pemohon mendalilkan terminologi pajak penerangan jalan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 28 tidak sejalan dengan maksud diadakannya pajak penerangan jalan yang seharusnya terbatas hanya untuk penggunaan listrik yang dihasilkan oleh negara, dan tidak dalam cakupan listrik yang dihasilkan sendiri, dan tidak dalam cakupan listrik yang dihasilkan oleh perusahaan untuk kepentingan proses produksinya.
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo, Mahkamah menilai penggunaan istilah “penerangan jalan” yang maknanya meluas menimbulkan ketidakpastian hukum bagi para pengguna tenaga listrik. Mahkamah berpendapat kepastian hukum tercipta salah satunya dengan ketepatan penggunaan istilah-istilah dengan makna yang dirujuknya. Salah satunya adalah istilah “penerangan jalan” sudah jelas dan mapan maknanya baik secara harfiah maupun dalam penggunaan sehari-hari, yaitu kegiatan membuat terang jalan dengan bantuan pencahayaan buatan.
“Ketika ‘penerangan jalan’ dimaknai meluas meliputi juga semua penggunaan listrik untuk keperluan selain penerangan jalan, maka hal demikian membingungkan bagi pengguna tenaga listrik karena dikenai pajak untuk suatu tindakan penggunaan tenaga listrik yang secara faktual tidak mereka lakukan. Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, sambung Saldi, terlepas dari belum dipertimbangkannya oleh Mahkamah mengenai konstitusionalitas pengenaan pajak terhadap penggunaan tenaga listrik untuk peruntukkan/keperluan selain penerangan jalan, apalagi jika tenaga listrik tersebut dihasilkan/dibangkitkan sendiri oleh pengguna, Mahkamah berpendapat bahwa Pasal 1 angka 28 dan Pasal 52 ayat (1) UU PDRD bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena penggunaan istilah di dalam Pasal 1 angka 28 dan Pasal 52 ayat (1) UU a quo telah menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pengguna tenaga listrik,” papar Suhartoyo.
Membentuk Ketentuan Baru
Dengan dinyatakannya Pasal 1 angka 28, Pasal 52 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 55 ayat (2) dan ayat (3) UU PDRD bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat, hal ini menghilangkan landasan hukum bagi pengenaan pajak terhadap penggunaan listrik. Padahal sebagaimana telah diuraikan Mahkamah dalam pertimbangan hukum di atas, pengenaan pajak terhadap penggunaan listrik bukanlah hal yang melanggar UUD 1945. Suhartoyo menambahkan untuk menghindari terjadinya kekosongan hukum dalam hal pengenaan pajak, Mahkamah memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk membentuk ketentuan baru sebagai dasar bagi pengenaan pajak terhadap penggunaan listrik, khususnya penerangan jalan, baik yang dihasilkan sendiri maupun dari sumber lain selain yang dihasilkan oleh pemerintah (PT PLN), dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun sejak diucapkannya putusan ini.
“Artinya, dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun sejak diucapkannya putusan ini UU PDRD masih berlaku sebagai dasar pengenaan PPJ. Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, Mahkamah berpendapat permohonan Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian,” tandas Suhartoyo. (Nano Tresna Arfana/LA)