Berkembangnya kasus tindak pidana pencucian uang (TPPU) seharusnya juga membuka penyidik TPPU untuk menyidik tindak pidana asal. Kemudian, jika penyidik hanya dibatasi dari enam instansi sebagaimana tercantum dalam Penjelasan Pasal 74 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU), maka hal tersebut menyebabkan penyelesaian kasus korupsi tidak optimal. Hal ini disampaikan Mantan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Yunus Husein dalam sidang lanjutan perkara Nomor 74/PUU-XVI/2018, Selasa (11/12) di Mahkamah Konstitusi (MK).
Yunus yang hadir selaku Ahli Pemohon tersebut juga mengungkapkan proses kompromi kala penyusunan RUU TPPU terkait tidak bisa diterimanya semua penyidik pidana asal menjadi TPPU. Sebagai Kepala PPATK kala itu, Yunus mengakui adanya kompromi “penyidik tindak pidana asal” adalah pejabat dari instansi yang oleh undang-undang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan, yaitu Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Narkotika Nasional (BNN), serta Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Akan tetapi, seiring waktu dengan banyaknya laporan dan kasus, senam penyidik tersebut belum optimal. “Jadi dengan alasan-alasan itulah, kami berpendapat sebaiknya penyidikan pidana cuci uang itu boleh disidik oleh tindak pidana asal untuk kepentingan kepastian hukum dan tidak adanya diskriminasi terhadap para pelanggar-pelanggar berbagai macam undang-undang tadi,” ujar Yunus menanggapi permohonan yang dimohonkan oleh Lembaga Anti Pencucian Uang Indonesia (LAPI), Yayasan Auriga Nusantara, Charles Simabura, Oce Madril dan Abdul Ficar Hadjar.
Yunus pun mengusulkan agar Penjelasan Pasal 74 dihilangkan sehingga terbuka penyidikan TPPU yang dapat dilakukan oleh penyidik tindak pidana asal. Hal ini menurutnya akan memberi kepastian hukum serta tidak ada diskriminasi terhadap para pelanggar jika ditangani oleh penyidik yang berbeda. “Inilah yang kami harapkan, sehingga bukan saja penggunaan Undang-Undang TPPU ini menjadi lebih banyak dan upaya untuk mengejar hasil kejahatan itu juga menjadi lebih optimal,” ujar Yunus.
Terkait pertanyaan Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams mengenai kemungkinan PPATK menjadi penyidik, Yunus menyebut hal itu tidak diperlukan. Menurutnya, penambahan kewenangan terhadap PPATK justru akan terkesan ‘berebut’ kewenangan dengan Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK. “Sebenarnya dari dulu banyak usul ya, badan PPATK menjadi penyidik, ya. Kalau menurut kami, tidak perlu. Kalau dalam permainan bola, PPATK itu seperti gelandang ya, midfielder. Dia hanya memberikan umpan saja sebagai playmaker, kasih umpan kepada striker, penyerangnya penyidik tadi. Ada polisi, jaksa, KPK, pajak, bea cukai, dan BNN. Kalau PPATK ikut-ikutan sebagai penyidik, nanti ikutan rebutan bola seperti halnya penyidik korupsi yang ada tiga, ada polisi, ada jaksa, ada KPK,” tegasnya.
Diskriminatif
Sementara, Bivitri Susanti selaku Ahli Pemohon lainnya, menjelaskan bahwa Pasal 2 ayat (1) huruf z dan Penjelasan Pasal 74 UU TPPU diskriminatif dan inkonstitusional. Menurut Bivitri, kedua pasal telah menimbulkan ketidakpastian hukum dengan menyebabkan kebingungan dalam penerapannya, tidak hanya bagi kalangan aparat penegak hukum, namun juga bagi masyarakat pada umumnya. “Sebab Pasal 74 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 yang sebenarnya sudah jelas mengatur mengenai penyidik yang mana saja, kemudian justru dibatasi oleh norma di bagian penjelasan yang sebagainya tidak boleh melakukan pembatasan norma. Dalam praktik, tak jarang dokumen penuntutan tidak maksimal karena jaksa menganggap penyidik tindak pidana asal tidak berwenang untuk melakukan penyidikan,” terangnya.
Bivitri juga mengatakan adanya ketidakjelasan norma, baik dalam Pasal 2 ayat (1) huruf z maupun penjelasan Pasal 74 UU TPPU menyebabkan penyelesaian suatu perkara yang serupa berlarut-larut. “Sehingga menimbulkan praktik yang sebenarnya diskriminatif dan melanggar hak konstitusional,” imbuhnya.
Sebagaimana diketahui, Pemohon menguji Pasal 2 ayat (1) huruf z dan Penjelasan Pasal 74 UU TPPU. Pemohon mendalilkan ketentuan tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dengan beberapa alasan. Pertama, pertentangan itu timbul karena dalam Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 disebutkan bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan, kemajuan, dan kesatuan ekonomi nasional.
Jika diamati, Pemohon beranggapan bahwa sebenarnya tindak pidana pencucian uang itu berdasarkan penjelasan umum Undang-Undang Nomor 8 adalah merupakan tindak pidana yang mengancam stabilitas dan integritas sistem perekonomian dan sistem keuangan. Dalam konteks ini, keberadaan Pasal 2 ayat (1) huruf z dan Penjelasan Pasal 74 menyebabkan upaya untuk melakukan pemberantasan tindak pidana pencucian uang menjadi tidak maksimal. (Nano Tresna Arfana/LA)