Kultur sangat menentukan sebuah negara dalam berhukum. Hal tersebut disampaikan Peneliti MK Nalom Kurniawan saat menyambut kunjungan 25 orang mahasiswa Program Studi Hukum Fakultas Ilmu Sosial Universitas Muhammadiyah Purworejo (UMPWR) di Ruang Delegasi MK, Selasa (11/12). Dalam pandangan Nalom sebagai seorang peneliti yang mendampingi Hakim Konstitusi tak hanya dalam urusan perkara persidangan tetapi juga kunjungan-kunjungan kenegaraan, Nalom melihat beberapa perbedaan MKRI dengan MK yang ada di luar negeri.
Lebih lanjut, Nalom membahas bahwa di MK yang ada di luar negeri seperti Amerika dan Eropa, semua agenda persidangan serupa sidang kasasi yang terjadwal dengan ketat dan bersifat tertutup sehingga masyarakat tidak mengetahui persis proses persidangan yang terjadi terhadap suatu perkara. Berbeda halnya dengan sistem peradilan perkara di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) yang sifat persidangannya terbuka untuk umum. Keterbukaan dan kemudahan akses berhukum acara di MKRI terlihat dari upaya MK melakukan access to justice dengan membuka ruang video conference pada 42 universitas negeri yang tersebar di Indonesia. Namun diakui Nalom, kemudahan tersebut masih belum digunakan dengan maksimal oleh masyarakat yang ada di daerah-daerah yang berada jauh dari Jakarta sebagai lokasi berdirinya MKRI.
“Masih saja masyarakat yang berperkara ke MKRI memillih datang langsung ke MK di Jakarta. Mungkin budaya timur yang merasa belum afdhal jika tidak bertatap muka dalam persidangan. Sehingga diharapkan ke depan sarana tersebut bisa digunakan adik-adik mahasiswa juga untuk menyaksikan persidangan serta mengikuti kuliah-kuliah umum juga,” terang Nalom di hadapan para mahasiswa yang masih duduk di bangku semester tiga dan lima ini.
Selain itu, Nalom juga melihat perbedaan lain antara MKRI dengan MK luar negeri, yakni komponen hakim yang menjabat di MKRI melibatkan tiga komponen pemerintahan di Indonesia. Ada tiga hakim dari presiden, tiga hakim dari MA, dan ada tiga hakim dari DPR. Dengan imbangnya komponen hakim konstitusi tersebut, Nalom menambahkan, dominasi kepentingan dapat diminimalisasi. “Dari proses perekrutan dari tiga komponen itu, secara tidak langsung MK telah melakukan prinsip pengawasan sendiri terhadap lembaganya. Walaupun pada praktinya kemudian MK berinisitif membentuk Dewan Etik yang bertugas mengawasi kinerja Hakim Konstitusi. Jadi, lengkap sudah pengawasan di MK,” jelas Nalom.
Berkaitan dengan aspek keterbukaan persidangan, Nalom menjelaskan bahwa di MKRI dengan terbukanya persidangan maka dibutuhkan waktu yang cukup panjang minimal 5 – 6 bulan apabila semua proses persidangan dilalui dengan sempurna. Hal tersebut, jelas Nalom, terjadi bukan hanya karena sistem MKRI yang lama tetapi juga bergantung pada berbagai pihak yang berperkara. Selain itu juga bergantung pada substansi dari perkara yang dimohonkan karena putusan yang dibahas nantinya dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) sangat tajam mengingat sifat putusan MK yang final dan mengikat. “Jika tahapan persidangan dipangkas, maka sama artinya MK melanggar keberpihakan dan sifat keterbukaan persidangan yang diusungnya,” jelas Nalom.
Dalam kunjungan tersebut rombongan didampingi Ketua Program Studi Hukum FIS Agus Budi Santoso beserta empat dosen lainnya. Agus menyampaikan bahwa kunjungan yang dilakukan untuk pertama kali ke MK tidak lain untuk menyaksikan sidang perkara serta keinginan mahasiswa untuk mendapatkan pembekalan sejarah MK dalam sistem peradilan di Indonesia. “Untuk perkenan MK, kami sangat ingin sekali mengenal lebih jauh tugas pokok dan fungsi MK dalam sistem hukum di Indonesia. Semoga harapan kami ini bisa dipenuhi pada kunjungan kami ini,” harap Agus. (Sri Pujianti/LA)