Guna mempertebal pemahaman ideologi maupun konstitusi, Mahkamah Konstitusi (MK) menyambut baik kehadiran para pengurus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) untuk terus melakukan kerja sama dengan MK.
“Kami berharap kerja sama dengan PDI Perjuangan bukanlah kegiatan terakhir. Tetapi ini awal dari kerja sama dengan MK,” ungkap Kepala Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi Budi Achmad Djohari dalam penutupan Bimtek Hukum Acara Penyelesaian Perkara Hasil Pemilihan Umum 2019 bagi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) pada Rabu (28/11) malam.
Dikatakan Budi, Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi bekerja sama dengan berbagai elemen masyarakat untuk memberikan pemahaman tentang hak-hak dasar yang dimiliki oleh warga negara yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945. “Oleh karena itu, kami mengundang berbagai elemen masyarakat, dari parpol, organisasi massa, termasuk TNI dan Polri agar terimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari,” ucap Budi kepada 160 peserta bimtek.
Sementara itu, Ketua Bidang Ideologi dan Kaderisasi PDIP Muhammad Idam Samawi mengatakan bahwa di tengah-tengah pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 yang sangat liberal, diperkirakan akan banyak terjadi perselisihan antara peserta pemilu. “Pemilu 2019 diselenggarakan pemilu serentak yang pertama kali sejak 73 tahun Indonesia merdeka. Pemilihan presiden dan pemilihan umum legislatif dalam satu tarikan nafas, dalam satu kali penyelenggaraan. Ketika kami melakukan simulasi, ditemukan variabel-variabel yang sangat kompleks dalam Pemilu 2019. Selain itu akan ada persaingan antara partai politik serta dalam internal partai politik,” tambah Idam.
Diungkapkan Idam, pengalaman Pemilu 2014 yang bukan pemilu serentak, sengketa di internal PDIP ada 114 kasus. Ketika itu pelaksanaan pemilunya terpisah. Apalagi nanti saat digelar Pemilu 2019 Serentak, diprediksi jumlah sengketa yang muncul akan semakin tinggi. Tingkat kesalahan di level yang paling bawah bisa lebih dari 60 persen. “Bisa dibayangkan bagaimana hiruk pikuk saat penghitungan di TPS-TPS. Dengan demikian kerja sama antara MK dengan PDIP melalui bimtek semacam ini sangat strategis,” tandas Idam.
Hukum Acara MK
Sebelumnya, dalam Hukum Acara Penyelesaian Perkara Hasil Pemilihan Umum 2019 bagi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dihadirkan beberapa narasumber. Di antaranya adalah Panitera Pengganti MK Mardian Wibowo yang menyajikan materi “Hukum Acara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Tahun 2019.”
“Ketika saya menyampaikan Hukum Acara MK ini, konteksnya adalah Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu sekalian menjadi Pemohon atau Pihak Terkait dalam sidang sengketa Pemilu 2019 di MK. Obyeknya adalah keputusan Termohon tentang penetapan perolehan suara hasil pemilu anggota DPR dan DPRD secara nasional yang memengaruhi perolehan kursi Pemohon dan atau terpilihnya calon anggota DPR dan atau DPRD,” papar Mardian.
Lebih lanjut, Mardian mengatakan, peserta pemilu adalah parpol. “Konsep ke belakangnya adalah supremasi parpol. Jadi memang, caleg dalam sistem kepemiluan di Indonesia tidak berdiri sendiri, melainkan bagian dari parpol. Undang-Undang menyebutkan seperti itu,” ujar Mardian.
“Ketika muncul sengketa internal dalam tubuh parpol, bagaimana penyelesaiannya? Hal tersebut sudah dibahas di MK, berusaha mencari solusinya. Tetapi satu pedomannya bahwa Undang-Undang mengatur peserta pemilu adalah parpol. Meski kemudian terobosannya adalah perseorangan internal parpol ketika mengalami konflik sesama parpol, boleh maju juga di persidangan dengan persetujuan DPP parpol yang bersangkutan,” urai Mardian.
Lain lagi dengan Staf Ahli Kementerian Agama Janedjri M. Gaffar yang menyajikan materi “Mahkamah Konstitusi sebagai Pengawal Demokrasi”. Salah satunya disinggung soal sistem common law “Dalam sistem ini tidak akan terdapat lembaga bernama Mahkamah Konstitusi yang berdiri secara terpisah dari lembaga Mahkamah Agung (MA). Ini sejalan dengan prinsip equality before the law yang diterapkan dalam sistem common law. Ini juga sejalan dengan paham equality before the law yang tidak mengenal peradilan itu melaksanakan secara terpisah beberapa perkara,” kata Janedjri.
Sistem common law, sambung Janedjri, berbeda dengan negara yang menerapkan sistem civil law seperti Indonesia yang memiliki lembaga MK secara terpisah dengan MA. “Terkait dengan ini bahwa keberadaan MK diawali di negara yang menerapkan sistem common law. Bukan di negara yang menerapkan sistem civil law,” ungkap Janedjri.
Dalam bimtek juga dihadirkan para narasumber yang menerangkan “Teknik Penyusunan Permohonan Pemohon dan Keterangan Pihak Terkait Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD Tahun 2019.” Termasuk “Praktik Penyusunan Permohonan Pemohon Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD Tahun 2019.” Selain itu ada “Praktik Penyusunan Keterangan Pihak Terkait Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota DPR, DPR, dan DPRD Tahun 2019“ dan “Penanganan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD Tahun 2019 berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi” serta “Presentasi Hasil Penyusunan Permohonan Pemohon dan Keterangan Pihak Terkait Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD Tahun 2019.” (Nano Tresna Arfana/LA)